Masa pergerakan nasional
Indonesia yang berlangsung mulai awal abad 20 ditandai dengan munculnya banyak organisasi
pergerakan berhaluan nasionalisme, mengedepankan persatuan nasional, dan
menepikan unsur-unsur kedaerahan. Masa pergerakan nasional juga menjadi saksi
lahirnya banyak tokoh berpengaruh yang komitmen memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dengan wadah pergerakan yang terorganisir, rapi, serta membuang ego
sektoral kesukuan. Kita bisa melihat Budi Utomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Gerakan Indonesia
Raya, Gerakan Politik Indonesia, Sumpah Pemuda, dan sebagainya. Semua
organisasi pergerakan di atas lahir di abad 20 yang memiliki andil penting
dalam perjalanan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan di tahun 1945.
![]() |
| Sumber Gambar: Tirto.id |
Ir. Sukarno dan Drs.
Mohammad Hatta adalah dua tokoh yang berperan besar pada masa pergerakan
nasional. Keduanya aktif mendirikan wadah pergerakan sebagai alat perjuangan
memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajah. Baik Sukarno maupun Hatta
sama-sama memiliki PNI. Namun, PNI keduanya berbeda perspektif dalam memandang
PNI sebagai media pergerakan nasional. PNI versi Sukarno adalah Partai Nasional
Indonesia, orientasinya total politis, arah pergerakannya cenderung agitatif
revolusioner. Hal ini karena Sukarno adalah seorang orator, suka berpidato di
depan publik dengan gaya orasi berapi-api untuk membakar semangat nasionalisme
rakyat. Harapannya satu, rakyat sadar akan pentingnya persatuan dalam meraih
cita-cita kemerdekaan. Sementara PNI versi Mohammad Hatta adalah Pendidikan
Nasional Indonesia alias PNI Baru.
Keduanya sama-sama bergerak
dengan tujuan berjuang untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Mohammad Hatta dengan PNI Barunya tidak sepenuhnya setuju dengan cara agitasi
massa model Sukarno. Menurutnya, kemerdekaan tidak bisa dilakukan hanya dengan
cara agitasi. Melainkan perlu dilakukan secara teratur dan terstruktur dengan
berpindah dari agitasi ke organisasi. Cara terbaik untuk melakukan pergerakan
politik menurut Hatta adalah dengan menyaring dan mendidik kader-kader pemimpin
agar mereka terdidik dan tahan banting serta siap untuk menjadi pemimpin ketika
Indonesia sudah merdeka. Pendidikan kader bagi Mohammad Hatta adalah
keniscayaan agar perjuangan menjadi merdeka tidak terhenti walau pucuk pimpinan
pergerakan berhalangan karena ditahan atau diasingkan pemerintah kolonial.
PNI pimpinan Sukarno secara histroris didirikan pada 27 Juli 1927 oleh Sukarno dan tokoh-tokoh pergerakan lain seperti Sartono, Cipto Mangunkusumo, Iskak Cokroadisuryo, Sunaryo. Ideologi yang diusung kelompok ini adalah nasionalisme atau paham kebangsaan yang diyakini sebagai ideologi pemersatu menuju Indonesia merdeka. Untuk mewujudkan cita-cita merdeka melalui persatuan nasional, Sukarno menggunakan politik massa sebagai media perjuangan.
Bagi Sukarno, kekuatan massa adalah
cara ampuh dalam menyadarkan masyarakat bangkit dari penindasan dan penjajahan
pemerintah kolonial Belanda. Makanya, ia kerap menggunakan retorika untuk
menyemangati rakyat. Sayangnya, perjuangan Sukarno melalui PNI yang didirikan
tersebut harus terhenti ketika Sukarno bersama kawan-kawananya (Gatot
Mangkupraja, Supriadinata, Maskun Sumadiredja) ditangkap Belanda pada Desember
1929. Pada saat mereka ditangkap, aktivitas pergerakan PNI mati alias terhenti karena
kehilangan figur sentral sehingga tokoh PNI lain yang tidak ditangkap seperti
Sartono kemudian memutuskan membubarkan PNI dan mendirikan partai baru bernama
Partai Indonesia atau Partindo pada 25 April 1931.
Pembubaran PNI oleh Sartono pada prinsipnya tidak disetujui oleh anggota-anggota PNI dan pendukung PNI. Mereka yang tidak sepakat PNI dibubarkan kemudian mendirikan Golongan Merdeka. Bersamaan dengan pulangnya Sutan Syahrir dari Belanda pada akhir 1931 dan Mohammad Hatta pada Agustus 1932 Golongan Merdeka kemudian membentuk Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru pada Desember 1931. Saat Sukarno bebas dari penjara tahun 1931, ia dihadapkan dengan dua pilihan, bergabung dengan PNI Baru atau Partindo.
Sukarno kemudian memilih bergabung dengan Partindo pada Juli
1932 sebagai kelanjutan dari PNI yang sempat dirintisnya. Baik Partindo dan PNI
Baru dalam realitasnya merupakan dua kelompok pergerakan yang tetap berbeda
dalam memandang cara bergerak memerdekakan Indonesia. Perbedaan tersebut ada
pada gaya dan karakter tokoh masing-masing kelompok. Partindo dengan figur
Sukarno mengedepankan karisma personal, gaya politik ekspresif, dan menjadikan
podium sebagai corong pergerakan sehingga Sukarno dijuluki sebagai singa
podium. Sementara PNI Baru dengan Syahrir dan Mohammad Hatta sebagai figur
pengggerak cenderung hati-hati, mengedepanan cara-cara intelektual, dan
analitis.
Perbedaan gaya antara Sukarno bersama PNI dan Partindonya dengan Mohammad Hatta bersama PNI Barunya ini dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari perbedaan latar belakang keduanya. Sebagai contoh, Sukarno tidak pernah mengenyam pendidikan Barat, ia tahu pasti bagaimana praktik kolonialisme dan imperialisme Belanda di Indonesia sehingga membuatnya selalu terbakar api semangat pergolakan bahwa penjajahan hanya dapat dilawan dengan menggelorakan emosi rakyat agar mereka bersatu melawan segala penindasan Belanda. Sukarno menggunakan retorika dan agitasi massa untuk mewujudkan persatuan bangsa.
Berbeda dengan Sukarno yang cenderung blak-blakan dan ekspresif dalam menyuarakan narasi politik kemerdekaan, Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir yang berpendidikan Belanda cenderung normatif, mengedepankan cara-cara lunak seperti pendidikan kader dan pendekatan intelektual. Bagi Hatta, sebuah partai nasionalis harus mencurahkan energinya untuk membentuk keanggotaan inti yang kecil, sadar politik dan disiplin sebelum mencari keanggotaan massal. Hal ini karena menurut Hatta, tugas utama para tokoh pergerakan adalah mempersiapkan kader-kader terlatih yang mampu membimbing orang lain dan mengajari mereka cara-cara menganalisis situasi kontemporer. Selain itu, politik podium menurut Hatta tidak mungkin lagi diteruskan. Menurutnya, rakyat tidak bisa lagi harus bergantung pada satu pemimpin saja, rakyat Indonesia sendiri yang harus menjadi pahlawan.
Singkatnya, PNI Baru memiliki visi misi membangun kader-kader pemimpin yang pada gilirannya mereka diharapkan dapat mendidik orang lain. Hatta, Syahrir dan kader-kader PNI Baru meyakini bahwa kemerdekaan tidak akan dapat dicapai melalui dukungan massa dari para pemimpin karismatik yang berkarir pendek karena perjuangannya akan mandek di tengah jalan jika mereka ditangkap dan ditahan pemerintah kolonial. Karena itu, kaderisasi adalah jalan keluarnya. Inilah perbedaan cara pandang antara PNI Sukarno dan PNI Hatta dalam bergerak memerdekakan Indonesia. Uniknya, perbedaan gaya pergerakan ini tidak lantas membuat mereka pecah kongsi dalam berjuang memerdekakan Indonesia. Justru perbedaan yang ada berkontribusi positif terhadap semakin menguatnya cita-cita pergerakan nasional menuju Indonesia merdeka.
Mereka saling mengisi dan bekerja sama satu sama lain seperti yang diakui Hatta bahwa menjelang akhir September 1932, tiga tokoh Partindo dan PNI Baru yang terdiri dari Sartono, Sukarno, dan Hatta pernah membahas apakah ada kemungkinan menyatukan Partindo dan Pendidikan Nasional Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Hatta berpendapat bahwa lebih baik bagi kedua belah pihak menjaga identitas masing-masing, namun jika perlu, bekerja sama satu sama lain. Jadi, berbeda perspektif boleh namun harus tetap bersatu sebagai satu anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita luhur bersama. Inilah esensi dari perbedaan, tujuannya saling menyatukan dan saling bersinergi bukan untuk saling bercerai berai karena persaingan ego sektoral yang mengancam keutuhan serta kepentingan bangsa.

0 Response to "PNI Sukarno Vs PNI Hatta"
Post a Comment