Merefleksikan 80 Tahun Indonesia Merdeka | Paradigma Bintang

Merefleksikan 80 Tahun Indonesia Merdeka

Waktu benar-benar terus berjalan dan kini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah memasuki usia ke-80. Sebagai negara, Indonesia tergolong sudah cukup matang semenjak ia resmi terlahir melalui deklarasi heroik yang dibacakan oleh Ir Soekarno pada 17 Agustus 1945. Sebagai bangsa, malah usia Indonesia sudah melewati 1 abad lebih semenjak kelahirannya melalui Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Namun, bukan ini poin saya. Hari Minggu 17 Agustus 2025, seluruh elemen rakyat Indonesia kompak akan merayakan kemerdekaannya yang ke-80.

Ini baik, sangat positif bagi tumbuh kembang Indonesia sebagai negara bangsa yang bertekad menjadi negara maju. Menurut visi pemerintah, cita-cita  ini akan dikejar pencapaiannya pada usia 100 tahun kemerdekaan alias 20 tahun lagi (2045) dari tahun 2025. Pertanyaannya, apakah ini realistis untuk dicapai? Bagaimanakah persiapan dan kesiapan Indonesia mewujudkan target kemajuan di usia satu abad kemerdekaannya?

Merefleksikan 80 Tahun Indonesia Merdeka
Sumber: Setneg RI

Saya ingin menuangkan isi kepala saya secara apa adanya. Visi Indonesia Emas 2045 yang ditandai dengan kemajuan-kemajuan Indonesia dalam berbagai bidang sejatinya bukan hal mustahil diwujudkan. Dengan waktu tersisa 20 tahun dari sekarang, ini artinya, tidak ada alasan lagi bagi negeri ini untuk leha-leha dan bersantai ria. Segala sesuatunya harus dikerahkan untuk mendukung pencapaian visi kemajuan bangsa. Dan semuanya harus dimulai dari membangun manusia Indonesia karena manusialah yang akan menggerakan segala dimensi pembangunan yang dibutuhkan negeri.

Manusia yang terbangun otak, fisik, dan mentalnya akan dengan mudah digerakkan untuk membangun hal-hal lain dari target pembangunan seperti infrastruktur fisik, pertumbuhan ekonomi, kecerdasan buatan, teknologi kekinian, dan sebagainya. Menyadari hal ini, maka membangun kualitas pendidikan manusia Indonesia adalah keniscayaan alias tidak dapat ditawar lagi. Jangan pernah bermimpi Indonesia bisa menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi 8 persen jika mayoritas pendidikan rakyatnya hanya mentok serta puas menjadi lulusan SD dan SMP.

Faktanya, menurut data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), hingga tahun 2024, rata-rata lama sekolah warga Indonesia hanya 9,22 tahun alias setara kelas 9 SMP, sementara yang tidak atau belum sekolah sebanyak 24,3 persen, warga tamatan SD sebanyak 22,72 persen, tamatan SMP sebanyak 35,96 persen, tamatan SMA sebanyak 30,85 persen, dan tamatan perguruan tinggi (D1— S3) sebanyak 6,82 persen.

Ini kondisi konkret tentang kualitas sumber daya manusia Indonesia. Rakyat yang berpendidikan tinggi lebih sedikit dari yang lulusan SD, SMP, SMA atau dari mereka yang belum atau tidak bersekolah. Artinya, selama 80 tahun merdeka rupanya sektor pendidikan Indonesia belum sepenuhnya merdeka dari ketidakidealan dan ketertinggalan. Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga yang merdeka satu hingga dua dekade setelah kemerdekaan Indonesia. Dibandingkan Singapura yang merdeka pada tahun 1965, kualitas pendidikan Indonesia sudah sangat tertinggal di belakang.

Ini bisa dilihat dari data PISA, yaitu asesmen internasional yang mengukur kemahiran siswa-siswi di seluruh dunia di bidang literasi membaca, sains, dan matematika. Berdasarkan PISA 2022, praktis Singapura menempati peringkat pertama dari 80 negara yang berpartisipasi dalam tes. Sementara Indonesia berada di peringkat 69 dari 80 negara partisipan. Jika dibandingkan dengan peringkat PISA negara-negara ASEAN tahun 2022, Indonesia juga tertinggal alias berada di peringkat enam besar (6) ASEAN, yaitu di bawah Singapura (1), Vietnam (2), Brunei (3), Malaysia (4), Thailand (5), disusul kemudian oleh Filipina (7) Kamboja (8) (OECD, 2022).

Mengapa meski sudah delapan dasawarsa merdeka, kondisi pendidikan Indonesia masih sangat tertinggal? Bukankah semenjak tahun 2009 anggaran pendiddikan sudah dialokasikan 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)? Jawabannya sangat gamblang, pendidikan Indonesia salah kelola, rawan penyimpangan, dan tidak fokus.

Benar adanya, anggaran pendidikan nasional 20 persen dari APBN. Namun, perwujudannya masih jauh panggang dari api. Anggaran pendidikan yang sejatinya fokus untuk pemajuan pendidikan rupanya terkonsentrasi di berbagai pos kementerian/lembaga. Misal, dana pendidikan 20 persen yang semestinya terkonsentrasi di Kemendikdasmen dan Kemindiksaintek untuk membiayai jalannya pendidikan formal rupanya harus dibagi dengan kementerian lain untuk membiayai pendidikan kedinasan.

Tragisnya, berdasarkan data, dana pendidikan formal yang dikelola Kemendikdasmen dan Kemindiksaintek untuk membiayai 53,17 juta siswa dan 8,9 juta mahasiswa nominalnya hanya 91,2 triliun rupiah. Sementara dana yang dialokasikan untuk sekolah kedinasan yang dikelola oleh kementerian/lembaga di luar kemendikdasmen/kemendiksaintek nominalnya sampai 104,5 triliun rupiah hanya untuk membiayai 12.000—13.000 mahasiswa (Data diadaptasi dari Podcast Akbar Faizal Uncensored, 31 Juli 2025).

Realitas ini sungguh-sungguh paradoks sekaligus penuh ironi. Belum lagi dengan fakta ganti menteri, ganti kurikulum sehingga apa yang sebelumnya sudah berlangsung baik harus dirombak dan dimulai dari nol lagi. Saya mengapresiasi langkah dan terobosan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang telah melakukan langkah-langkah korektif guna memperbaiki kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Program seperti makan bergizi gratis bagi siswa untuk menanggulangi persoalan stunting alias tengkes, penghambat tumbuh kembang kecerdasan anak, menaikkan gaji guru-dosen ASN, menindak tegas korupsi sektor pendidikan yang merugikan keuangan negara berjumlah triliunan sangat positif untuk masa depan pendidikan Indonesia.

Catatan saya, untuk program seperti makan bergizi gratis itu benar-benar dilaksanakan secara serius. Dalam pelaksanaannya, masih banyak anak yang menjadi penerima manfaat program tersebut yang keracunan, tidak sedikit pula mereka yang trauma karena mendapati belatung dan hal-hal tidak higienis saat akan menikmati menu yang katanya bergizi tersebut.

Lebih lanjut, upaya untuk mencetak banyak warga Indonesia berpendidikan S2—S3 dengan beasiswa negara rupanya di tahun 2025 ini tampak anomali. Kuotanya berkurang drastis dan persaingannya semakin diperketat alias sukar dijangkau karena passing grade kelulusan yang terlampau meningkat tajam. Sebut saja seleksi beasiswa LPDP periode pertama tahun 2025. Begitu banyak pelamar mengeluhkan kuota yang semakin turun dan passing grade yang semakin naik dibandingkan pada peiode tahun sebelumnya. Beragam respon muncul akibat kebijakan ini. Ada yang menganalisis perubahan kebijakan pengurangan kuota pemberian beasiswa beasiswa terjadi karena dampak dari kebijakan efisiensi anggaran dan penempatan program makan bergizi sebagai prioritas.

Hemat saya, keluhan dan analisis di atas ada benarnya karena faktanya memang demikian. Saran saya, ada baiknya pemerintah bersikap proporsional. Kuota pemberian beasiswa tidak perlu dikurangi, justru ditambah, dan yang terpenting passing grade atau ambang nilai kelulusan beasiswa tidak perlu terlalu dipersulit agar tidak memberatkan anak-anak bangsa yang berniat untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Ini penting demi percepatan pembangunan SDM Indonesia yang berdaya saing dan siap berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain. Berdasarkan data 2024, jumlah warga Indonesia lulusan S2-S3 hanya 0,53 persen dari total penduduk Indonesia, sementara di negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand jumlah warganya yang lulusan S2 dan S3 sudah mencapai 2,43 persen. Lebih berbeda lagi jika dibandingkan AS, Jepang, Korsel, Jerman, Kanada, Selandia Baru: warga mereka yang berpendidkan S2-S3 sudah di angka 9,80 persen dari total penduduk. Lagi-lagi Indonesia tertinggal jauh.

Waktu Indonesia hanya 20 tahun lagi jika mau mengejar target Indonesia Emas di tahun 2045. Segala hal yang menghambat terwujudnya mimpi mulia tersebut harus dilawan tanpa kompromi. Korupsi apalagi dalam sektor pendidikan adalah ancaman nyata yang sungguh-sungguh merusak cita-cita Indonesia Emas. Jangan sedikit pun mundur dan gentar memerangi korupsi, hanya dengan tata kelola pemerintahan yang bersih, birokrasi berintegritas berbasis merit atau kapasitas, hal-hal baik menuju Indonesia Raya di segala bidang akan terwujud.

Pilihanya sekarang, pemerintah mau sekadar omon-omon atau bekerja optimal untuk rakyat. Melihat performa yang ada, pemerintah sudah berada di jalur yang tepat. Inisiaif baik dengan misal, meluncurkan program-program seperti Beasiswa Garuda, Sekolah Rakyat, menindak tegas para koruptor yang merugikan triliunan kas negara dan sebagainya semoga terus konsisten dan jika perlu ditingkatkan lagi dengan terobosan-terobosan baru yang semakin mempercepat tercapainya tujuan Indonesia Emas. Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia! Bersatu dan Berdaulat demi rakyat Sejahtera dan Indonesia Maju!

0 Response to "Merefleksikan 80 Tahun Indonesia Merdeka"

Post a Comment