Quo Vadis Gencatan Senjata Thailand-Kamboja dan Solusinya | Paradigma Bintang

Quo Vadis Gencatan Senjata Thailand-Kamboja dan Solusinya

Setelah terlibat perang terbuka yang sangat mematikan, Thailand-Kamboja dengan mediasi Ketua ASEAN 2025 Malaysia akhirnya sepakat untuk mengakhiri perang yang berlaku efektif mulai pukul 24.00 waktu setempat 28 Juli 2025. Solusi gencatan senjata yang disepakati pemimpin kedua negara yang berkonflik ini terjadi di Putrajaya Malaysia. PM Kamboja Hun Manet dan Pelaksana Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai yang hadir mewakili negara masing-masing terlihat bahagia saat saling berjabat tangan dengan ditengahi oleh Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Ini artinya, secara de facto mufakat gencata senjata membuat perang Thailand-Kamboja telah menemukan jalan keluar terbaiknya.

Malaysia, selaku tuan rumah yang memediasi dua negara yang bersengketa patut diapresiasi. Berkat peran vital Malaysia yang berkenan memfasilitasi terlaksananya diplomasi, negosiasi, dialog konstruktif, ketegangaan di bumi Indochina yang melibatkan Tahiland-Kamboja dapat diredakan.

Quo Vadis Gencatan Senjata Thailand-Kamboja dan Solusinya
Sumber: AFP

Namun demikian, rupanya gencatan senjata yang telah disepakati bersama tak berumur panjang. Pada 29 Juli 2025, tidak sampai sehari setelah kesepakatan senjata diputuskan bersama, Thailand menuding Kamboja melanggar kesepakatan gencatan senjata. Thailand menuduh Kamboja telah melakukan serangan militer ke wilayah Thailand. Ketegangan baru pun tak dapat terelakkan.

Thailand merespon aksi Kamboja secara terukur sebagai bagian dari upaya mempertahankan diri (Itthipongmaetee, 2025). Inilah fakta terkini dari konflik Thailand-Kamboja. Jika hal ini terus-terusan terjadi, pertanyaannya kemudian adalah, hendak di bawa ke mana mufakat gencatan senjata yang diyakini akan ampuh mendamaikan kedua negara yang sedang berperang panas akibat sengketa perbatasan (geopolitik) dan klaim kepemilikan kuil-kuil kuno yang diklaim menjadi hak masing-masing negara yang berkonflik.

Hingga saat ini, perang Thailand-Kamboja yang menggunakan jet, roket, dan artileri canggih itu telah menewaskan 38 orang dengan rincian: 11 militer Thailand, 14 warga sipil Thailand, 5 militer Kamboja, dan 8 warga sipil Kamboja. Lebih dari itu, sebanyak 138.000 lebih warga Thailand mengungsi dan sekitar 140.000 lebih warga Kamboja juga mengungsi semenjak perang berkecamuk pada Kamis, 24 Juli 2025 lalu (Jakarta Post, 29 Juli 2025).

Fakta-fakta ini menegaskan bahwa aktivitas manajemen konflik (pendekatan diplomatik) yang telah dan sedang diupayakan oleh Malaysia selaku pemimpin ASEAN 2025 hanya sebatas isapan jempol alias omon-omon belaka. Lantas, bagaimanakah langkah yang semestinya dilakukan ASEAN agar setiap keputusan yang telah disepakati bersifat mengikat dan wajib ditaati bagi anggota ASEAN atau pihak terkait?

Hemat penulis, sejatinya ASEAN selaku organisasi kawasan pro aktif melakukan aktivitas lain di luar langkah diplomatik dari upaya manajemen konflik seperti verbal actions, judicial processes, administrative assistance, and the use of military force (Vukovic, 2016). Dari empat aktivitas tersebut, aksi verbal, proses peradilan, bantuan administratif, sedianya sudah pernah dilakukan baik melalui ASEAN, negara ASEAN yang sedang menjabat sebagai Ketua ASEAN, otoritas Kamboja-Thailand, hingga Mahkamah Internasional. Dan satu yang tersisa adalah perlunya kehadiran pasukan militer berposisi netral yang menjalankan tugas sebagai peace keeper.

Mencontoh PBB yang memiliki pasukan perdamaian yang imparsial alias tidak memihak kubu tertentu dan rutin mengirimkan para pasukan tersebut ke wilayah konflik sebagai penjaga perdamaian rasanya perlu juga dilakukan ASEAN. Hal ini karena penggunaan kekuatan militer netral penting untuk memastikan bahwa misi perdamaian di perbatasan Thailand-Kamboja benar-benar terwujud. Dan hal yang terpenting adalah para pasukan penjaga perdamaian nantinya diberi kewenangan untuk melakukan langkah-langkah terukur yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memastikan setiap pihak yang berkonflik tidak melanggar apa yang telah disepakati.

Dalam konteks perang Thailand-Kamboja, kehadiran pasukan khusus perdamaian ASEAN yang anggota-anggotanya berasal dari luar personil militer negara yang berkonflik di wilayah perbatasan kedua negara mutlak diperlukan. Hal ini juga akan mendukung implementasi gagasan Joint Border Committee (JBC) yang anggota-anggotanya berasal dari perwakilan Thailand-Kamboja.

Berkaca pada kegagalan atas realisasi awal gencatan senjata Thailand-kamboja, sejatinya  preseden tersebut menjadi bahan evaluasi bagi ASEAN. Disadari atau tidak hal ini tidak semata mencerminkan gagalnya dua negara anggota ASEAN yang sedang berperang. Namun juga mengindikasikan rapuhnya struktur organisasi ASEAN dalam hal mewujudkan Asia Tenggara sebagai kawasan yang stabil. Penulis memandang prinsip seperti non intervensi dan konsensus yang menjadi fundamental ASEAN layak untuk dikritisi atau bahkan perlu dipertimbangkan apakah hal tersebut masih akan dipertahankan saat negara anggota ASEAN dihadapkan pada perang terbuka yang kemudian menyebabkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit.

Penulis memandang satu kekurangan ASEAN lain adalah absennya lembaga penegakan komitmen yang siap bertindak tegas terhadap siapa pun anggota ASEAN yang menabrak mufakat bersama. Solusi gencatan senjata yang telah disetujui oleh masing-masing negara yang berperang tanpa tindak lanjut pengawasan dan mekanisme hukuman hanya akan menjadi pemanis konflik karena sifatnya yang rawan dilanggar. Maka dari itu, selain pasukan penjaga perdamaian, ASEAN kiranya perlu mendirikan lembaga semacam ASEAN Conflict Supervision and Quick Response Mechanism yang memiliki wewenang untuk bertindak sigap, mandiri, dan diakui eksistensi serta keabsahannya. Dengan demikian, harapan besarnya, apa yang sudah menjadi mufakat sungguh-sungguh dijalankan sehingga nyawa warga sipil yang tidak tahu menahu persoalan konflik dapat terselamatkan.

0 Response to "Quo Vadis Gencatan Senjata Thailand-Kamboja dan Solusinya "

Post a Comment