Upaya diplomasi Indonesia
untuk menurunkan tarif ekspor barang ke Amerika Serikat (AS) akhirnya
membuahkan hasil. Setelah melalui lobi-lobi yang serius dan berlapis, Presiden
AS Donald Trump menyetujui penurunan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen. Banyak
pihak menyambutnya dengan sorak-sorai, menganggapnya sebagai pencapaian yang
patut dibanggakan.
Saya, terus terang,
menyambutnya dengan biasa saja.
Bukan karena anti-AS atau
tidak menghargai kerja diplomasi para pejabat kita. Tetapi karena pada saat
bersamaan, Indonesia justru membebaskan barang dari AS masuk ke pasar kita
tanpa tarif, alias nol persen. Dengan kata lain: mereka untung, kita buntung.
AS menang, Indonesia keok.
![]() |
Sumber: AFP |
Ini bukan sekadar soal
angka. Ini tentang bagaimana posisi tawar kita dalam percaturan dagang global
masih belum cukup kuat untuk menegosiasikan keuntungan yang setara. Dalam
relasi dagang ini, Indonesia tampak seperti murid yang bersyukur diberi nilai 6,
sementara guru tidak pernah diminta mengerjakan soal apa pun.
Di bawah Trump, kebijakan
dagang AS berubah total. Ia meninggalkan multilateralisme dan memilih
pendekatan transaksional, bilateral, dan kalkulatif. Siapa pun yang ingin
fasilitas dagang, harus merayu Washington. Harus menunjukkan bahwa AS akan
diuntungkan lebih dulu. Tidak ada lagi prinsip sama-sama untung. Prinsipnya
jelas: Make America Great Again, bahkan jika itu berarti membuat negara
lain kecil kembali.
Indonesia tidak
sendirian. Negara-negara berkembang lainnya juga berhadapan dengan tekanan
serupa. Tetapi yang membuat kita prihatin adalah respons kita yang terlalu
lunak. Diplomasi ekonomi kita masih terlalu bersifat reaktif—sekadar menjawab
tantangan jangka pendek, bukan membangun strategi jangka panjang.
Pemerintah tampaknya
menganggap penurunan tarif sebagai prestasi besar. Padahal, jika ditimbang
lebih saksama, ini seperti orang yang merasa sudah menang karena diberi diskon
10 ribu, padahal sebelumnya sudah dipaksa membayar 100 ribu untuk barang seharga
60 ribu. Retorika Trump tentang defisit perdagangan tidak selalu berdasar,
tetapi berhasil menekan negara-negara lain untuk menerima syarat-syaratnya.
Kita harus berhenti
merasa senang hanya karena diberi kelonggaran. Kita perlu bertanya: apakah
ekspor kita benar-benar meningkat setelah ini? Apakah pelaku UMKM diuntungkan?
Apakah lapangan kerja bertambah? Dan sebaliknya, produk-produk AS yang masuk
bebas tarif—apakah mereka bersaing langsung dengan industri lokal? Apakah ini
mengancam produsen kita?
Jika jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan itu lebih banyak negatifnya, maka ini bukan keberhasilan,
melainkan pengalihan perhatian.
Ke depan, Indonesia harus
berani menetapkan garis merah dalam perdagangan internasional. Kita tidak bisa
hanya menjadi pasar. Kita harus membangun basis industri sendiri, memperkuat
sektor hilir, mendorong produk bernilai tambah, dan memperbesar kapasitas
diplomasi ekonomi kita. Diplomasi tanpa kekuatan ekonomi nasional hanya akan
menjadi seni membungkuk lebih dalam.
Sebagai perbandingan,
Tiongkok, dengan segala tekanan dari AS, tetap mempertahankan prinsip saling
menguntungkan. Ketika Trump memberlakukan tarif terhadap produk Tiongkok,
Beijing merespons dengan tarif balasan. Mereka tidak takut kehilangan akses
pasar karena tahu produk mereka dibutuhkan, dan industri mereka cukup kuat
untuk bertahan. Itulah pentingnya bargaining power.
Selain itu, Indonesia
perlu mendiversifikasi pasar. Ketergantungan berlebihan pada satu
negara—terutama yang hegemonik—adalah risiko besar. Kawasan ASEAN, Afrika,
Timur Tengah, India, dan Amerika Latin bisa menjadi alternatif tujuan ekspor.
Kita juga perlu memperkuat kerja sama Selatan-Selatan yang berbasis solidaritas
dan keadilan.
Diplomasi ekonomi bukan
sekadar soal “mendapatkan tarif rendah”, tetapi bagaimana memperjuangkan
kepentingan nasional dalam lanskap global yang keras dan kompetitif. Kita tidak
bisa berharap pada goodwill negara lain, apalagi dari kekuatan besar yang selalu
menempatkan kepentingannya di atas segalanya. Kita harus menjadi aktor yang
tahu apa yang kita mau, dan tahu cara mendapatkannya tanpa menjual terlalu
banyak.
Penurunan tarif dari AS memang patut dicatat. Tetapi mari tidak cepat puas. Justru ini momen untuk refleksi: apakah kita sudah cukup kuat untuk menentukan arah, atau masih sibuk bersyukur karena diberi ruang oleh yang lebih berkuasa? Diplomasi yang kuat lahir dari ekonomi yang mandiri. Dan selama kita belum berdaulat secara ekonomi, setiap keberhasilan diplomasi bisa jadi hanya fatamorgana.
0 Response to "Ketimpangan dalam Diplomasi Ekonomi: Kasus Indonesia–AS"
Post a Comment