Salah Kaprah Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Ironi di Tengah Globalisasi | Paradigma Bintang

Salah Kaprah Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Ironi di Tengah Globalisasi

Saya mengamati bahwa pola pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia salah kaprah alias tidak memiliki visi mengantarkan murid pelajar bahasa Inggris siap menghadapi ujian bahasa Inggris standar internasional seperti TOEFL dan IELTS yang hasil tesnya diakui dunia internasional. Pengajaran bahasa Inggris hanya ditujukan sebatas formalitas menggugurkan kewajiban bahwa bahasa Inggris sudah diajarkan tanpa peduli bagaimana mutu dan output yang akan dicapai. Imbasnya, anak capek dua kali. Pelajar atau mahasiswa di Indonesia masih harus keluar uang lagi untuk kursus TOEFL dan IELTS di luar jam sekolah dan kuliah formal. Benar-benar tidak efisien.

Kondisi ini bukan sekadar masalah teknis pengajaran, melainkan sudah menjadi masalah sistemik yang mencerminkan kurangnya arah dan tujuan yang jelas dalam pendidikan bahasa asing di tanah air. Padahal, di era globalisasi dan mobilitas internasional yang semakin tinggi, kemampuan bahasa Inggris bukan lagi sekadar nilai tambah, melainkan kebutuhan esensial. Kemampuan ini menentukan akses seseorang terhadap pendidikan tinggi, pekerjaan yang lebih baik, dan jaringan global yang lebih luas.

Salah Kaprah Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Ironi di Tengah Globalisasi

                                                           Ilustrasi Bahasa Inggris. foto/IStockphoto

Pengajaran yang Terjebak pada Pola Lama

Masalah utama terletak pada metode dan kurikulum pengajaran bahasa Inggris yang masih sangat teoritis dan tekstual. Siswa diajarkan grammar secara berlebihan, terkadang dengan pendekatan yang membingungkan dan membosankan. Fokus terlalu banyak diberikan pada struktur kalimat, tenses, dan menghafal vocabulary secara acak tanpa konteks yang relevan. Padahal, ujian seperti TOEFL dan IELTS menguji lebih dari sekadar hafalan gramatikal. Mereka menekankan kemampuan memahami konteks, mengekspresikan ide secara tertulis dan lisan, serta berpikir kritis dalam bahasa Inggris.

Sayangnya, sistem pendidikan kita belum menyentuh ranah ini. Tidak ada integrasi antara pembelajaran bahasa dengan praktik langsung seperti menulis esai argumentatif, mendengarkan percakapan akademik, atau melakukan diskusi formal. Siswa lulus SMA atau bahkan kuliah, namun tetap gagap ketika menghadapi ujian internasional. Ini menunjukkan bahwa selama ini mereka tidak dipersiapkan untuk realitas penggunaan bahasa Inggris yang sebenarnya.

Ketimpangan Akses dan Biaya Tambahan

Karena sekolah formal gagal menyediakan pembelajaran yang memadai, siswa terpaksa mencari alternatif lain. Di sinilah muncul industri kursus TOEFL dan IELTS yang menjamur, terutama di kota-kota besar. Biaya kursus ini tidak murah. Orang tua harus merogoh kocek lebih dalam, dan tidak semua keluarga mampu melakukannya. Akibatnya, akses ke pendidikan tinggi di luar negeri atau beasiswa internasional hanya dapat dijangkau oleh kalangan tertentu yang memiliki sumber daya lebih.

Ini menciptakan ketimpangan baru dalam masyarakat: ketimpangan dalam penguasaan bahasa asing. Sementara anak-anak dari keluarga mampu bisa mengikuti kursus berkualitas dan lolos ujian standar internasional, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus menghadapi jalan terjal dengan sumber daya yang minim.

Kebutuhan Mendesak Akan Reformasi Kurikulum

Kondisi ini seharusnya menjadi panggilan darurat bagi para pengambil kebijakan pendidikan. Sudah saatnya kita meninjau ulang arah dan pendekatan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Pembelajaran bahasa Inggris tidak cukup hanya dijadikan mata pelajaran wajib dengan porsi jam terbatas. Harus ada strategi nasional yang lebih terintegrasi, progresif, dan realistis.

Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah mereformasi kurikulum bahasa Inggris agar selaras dengan kebutuhan ujian internasional dan penggunaan praktis dalam dunia nyata. Misalnya, menyisipkan materi listening yang berbasis rekaman akademik, memberi tugas writing berupa esai opini atau laporan, serta menilai speaking siswa melalui presentasi dan wawancara simulasi. Sekolah-sekolah juga bisa bekerja sama dengan lembaga penguji resmi untuk memberikan gambaran nyata mengenai format dan standar TOEFL atau IELTS.

Penguatan Guru dan Infrastruktur

Namun tentu saja, reformasi kurikulum harus dibarengi dengan peningkatan kualitas guru. Banyak guru bahasa Inggris yang sebenarnya tidak familiar dengan standar TOEFL dan IELTS. Mereka belum pernah mengikuti pelatihan mengajar yang berorientasi pada ujian internasional atau bahkan tidak pernah mengikuti ujian tersebut secara langsung.

Oleh karena itu, perlu ada program sertifikasi atau pelatihan berkelanjutan bagi para guru bahasa Inggris. Pemerintah bisa bekerja sama dengan lembaga internasional atau universitas terkemuka untuk menyediakan pelatihan ini secara nasional. Selain itu, infrastruktur penunjang seperti laboratorium bahasa, perangkat audio-visual, dan akses ke sumber belajar digital juga harus ditingkatkan agar proses belajar lebih kontekstual dan menyenangkan.

Bahasa Inggris Sebagai Alat Mobilitas Sosial

Menguasai bahasa Inggris secara fungsional sejatinya bisa menjadi alat mobilitas sosial yang luar biasa. Banyak anak muda dari negara berkembang yang mampu menembus beasiswa luar negeri, magang internasional, atau bahkan bekerja di perusahaan multinasional hanya karena mereka memiliki kompetensi bahasa yang mumpuni. Mereka tidak harus berasal dari keluarga kaya. Yang mereka butuhkan hanyalah sistem pendidikan yang berpihak dan memfasilitasi potensi.

Bayangkan jika semua siswa di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, mendapatkan akses yang sama terhadap pembelajaran bahasa Inggris berkualitas dan relevan. Ini bukan mimpi. Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia sudah membuktikan bahwa dengan kebijakan yang tepat, mereka bisa mencetak generasi muda yang kompeten secara global.

Penutup: Dari Gugur Kewajiban Menuju Visi Global

Sudah saatnya kita berhenti menganggap pelajaran bahasa Inggris sebagai sekadar mata pelajaran pelengkap. Bahasa adalah jembatan menuju dunia yang lebih luas. Kita perlu mengubah cara pandang dan strategi pengajarannya agar siswa tidak lagi harus "capek dua kali", harus sekolah formal lalu kursus tambahan. Sistem pendidikan seharusnya membekali siswa secara holistik, termasuk dalam kemampuan bahasa Inggris yang bisa diukur secara global.

Kita harus berani bertanya: apa tujuan sebenarnya dari pendidikan bahasa Inggris di Indonesia? Apakah sekadar mengisi nilai rapor, atau benar-benar memberdayakan siswa untuk bersaing di tingkat dunia? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka langkah perubahan harus segera dimulai—dari ruang kelas, dari kebijakan, dan dari kemauan kita untuk berpikir lebih jauh ke depan.

0 Response to "Salah Kaprah Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Ironi di Tengah Globalisasi"

Post a Comment