Saya mengamati bahwa pola
pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia salah kaprah alias tidak memiliki visi
mengantarkan murid pelajar bahasa Inggris siap menghadapi ujian bahasa Inggris
standar internasional seperti TOEFL dan IELTS yang hasil tesnya diakui dunia
internasional. Pengajaran bahasa Inggris hanya ditujukan sebatas formalitas
menggugurkan kewajiban bahwa bahasa Inggris sudah diajarkan tanpa peduli bagaimana mutu
dan output yang akan dicapai. Imbasnya, anak capek dua kali. Pelajar atau
mahasiswa di Indonesia masih harus keluar uang lagi untuk kursus TOEFL dan
IELTS di luar jam sekolah dan kuliah formal. Benar-benar tidak efisien.
Kondisi ini bukan sekadar masalah
teknis pengajaran, melainkan sudah menjadi masalah sistemik yang mencerminkan
kurangnya arah dan tujuan yang jelas dalam pendidikan bahasa asing di tanah
air. Padahal, di era globalisasi dan mobilitas internasional yang semakin
tinggi, kemampuan bahasa Inggris bukan lagi sekadar nilai tambah, melainkan
kebutuhan esensial. Kemampuan ini menentukan akses seseorang terhadap
pendidikan tinggi, pekerjaan yang lebih baik, dan jaringan global yang lebih
luas.
![]() |
Pengajaran yang Terjebak pada
Pola Lama
Masalah utama terletak pada
metode dan kurikulum pengajaran bahasa Inggris yang masih sangat teoritis dan
tekstual. Siswa diajarkan grammar secara berlebihan, terkadang dengan
pendekatan yang membingungkan dan membosankan. Fokus terlalu banyak diberikan pada
struktur kalimat, tenses, dan menghafal vocabulary secara acak tanpa konteks
yang relevan. Padahal, ujian seperti TOEFL dan IELTS menguji lebih dari sekadar
hafalan gramatikal. Mereka menekankan kemampuan memahami konteks,
mengekspresikan ide secara tertulis dan lisan, serta berpikir kritis dalam
bahasa Inggris.
Sayangnya, sistem pendidikan kita
belum menyentuh ranah ini. Tidak ada integrasi antara pembelajaran bahasa
dengan praktik langsung seperti menulis esai argumentatif, mendengarkan
percakapan akademik, atau melakukan diskusi formal. Siswa lulus SMA atau bahkan
kuliah, namun tetap gagap ketika menghadapi ujian internasional. Ini
menunjukkan bahwa selama ini mereka tidak dipersiapkan untuk realitas
penggunaan bahasa Inggris yang sebenarnya.
Ketimpangan Akses dan Biaya
Tambahan
Karena sekolah formal gagal
menyediakan pembelajaran yang memadai, siswa terpaksa mencari alternatif lain.
Di sinilah muncul industri kursus TOEFL dan IELTS yang menjamur, terutama di
kota-kota besar. Biaya kursus ini tidak murah. Orang tua harus merogoh kocek
lebih dalam, dan tidak semua keluarga mampu melakukannya. Akibatnya, akses ke
pendidikan tinggi di luar negeri atau beasiswa internasional hanya dapat
dijangkau oleh kalangan tertentu yang memiliki sumber daya lebih.
Ini menciptakan ketimpangan baru
dalam masyarakat: ketimpangan dalam penguasaan bahasa asing. Sementara
anak-anak dari keluarga mampu bisa mengikuti kursus berkualitas dan lolos ujian
standar internasional, anak-anak dari keluarga kurang mampu harus menghadapi
jalan terjal dengan sumber daya yang minim.
Kebutuhan Mendesak Akan
Reformasi Kurikulum
Kondisi ini seharusnya menjadi
panggilan darurat bagi para pengambil kebijakan pendidikan. Sudah saatnya kita
meninjau ulang arah dan pendekatan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Pembelajaran bahasa Inggris tidak cukup hanya dijadikan mata pelajaran wajib
dengan porsi jam terbatas. Harus ada strategi nasional yang lebih terintegrasi,
progresif, dan realistis.
Salah satu langkah awal yang bisa
dilakukan adalah mereformasi kurikulum bahasa Inggris agar selaras dengan
kebutuhan ujian internasional dan penggunaan praktis dalam dunia nyata.
Misalnya, menyisipkan materi listening yang berbasis rekaman akademik, memberi
tugas writing berupa esai opini atau laporan, serta menilai speaking siswa
melalui presentasi dan wawancara simulasi. Sekolah-sekolah juga bisa bekerja
sama dengan lembaga penguji resmi untuk memberikan gambaran nyata mengenai
format dan standar TOEFL atau IELTS.
Penguatan Guru dan
Infrastruktur
Namun tentu saja, reformasi
kurikulum harus dibarengi dengan peningkatan kualitas guru. Banyak guru bahasa
Inggris yang sebenarnya tidak familiar dengan standar TOEFL dan IELTS. Mereka
belum pernah mengikuti pelatihan mengajar yang berorientasi pada ujian
internasional atau bahkan tidak pernah mengikuti ujian tersebut secara
langsung.
Oleh karena itu, perlu ada
program sertifikasi atau pelatihan berkelanjutan bagi para guru bahasa Inggris.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan lembaga internasional atau universitas
terkemuka untuk menyediakan pelatihan ini secara nasional. Selain itu, infrastruktur
penunjang seperti laboratorium bahasa, perangkat audio-visual, dan akses ke
sumber belajar digital juga harus ditingkatkan agar proses belajar lebih
kontekstual dan menyenangkan.
Bahasa Inggris Sebagai Alat
Mobilitas Sosial
Menguasai bahasa Inggris secara
fungsional sejatinya bisa menjadi alat mobilitas sosial yang luar biasa. Banyak
anak muda dari negara berkembang yang mampu menembus beasiswa luar negeri,
magang internasional, atau bahkan bekerja di perusahaan multinasional hanya
karena mereka memiliki kompetensi bahasa yang mumpuni. Mereka tidak harus
berasal dari keluarga kaya. Yang mereka butuhkan hanyalah sistem pendidikan
yang berpihak dan memfasilitasi potensi.
Bayangkan jika semua siswa di
Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, mendapatkan akses yang sama terhadap
pembelajaran bahasa Inggris berkualitas dan relevan. Ini bukan mimpi.
Negara-negara seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia sudah membuktikan bahwa dengan
kebijakan yang tepat, mereka bisa mencetak generasi muda yang kompeten secara
global.
Penutup: Dari Gugur Kewajiban
Menuju Visi Global
Sudah saatnya kita berhenti
menganggap pelajaran bahasa Inggris sebagai sekadar mata pelajaran pelengkap.
Bahasa adalah jembatan menuju dunia yang lebih luas. Kita perlu mengubah cara
pandang dan strategi pengajarannya agar siswa tidak lagi harus "capek dua
kali", harus sekolah formal lalu kursus tambahan. Sistem pendidikan
seharusnya membekali siswa secara holistik, termasuk dalam kemampuan bahasa
Inggris yang bisa diukur secara global.
Kita harus berani bertanya: apa tujuan sebenarnya dari pendidikan bahasa Inggris di Indonesia? Apakah sekadar mengisi nilai rapor, atau benar-benar memberdayakan siswa untuk bersaing di tingkat dunia? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka langkah perubahan harus segera dimulai—dari ruang kelas, dari kebijakan, dan dari kemauan kita untuk berpikir lebih jauh ke depan.
0 Response to "Salah Kaprah Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Ironi di Tengah Globalisasi"
Post a Comment