“Si vis pacem, para bellum”—Jika
kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Ungkapan klasik
berbahasa Latin ini bukan sekadar pepatah kosong yang terlontar dari mulut para
jenderal zaman Romawi. Ia telah menjelma menjadi prinsip strategis yang dipeluk
oleh banyak negara hingga hari ini. Dunia modern, meskipun dihiasi
slogan-slogan diplomatik dan multilateralisme, tetap hidup di bawah
bayang-bayang konflik bersenjata. Perang, nyatanya, adalah realitas yang tak
terelakkan dalam sejarah umat manusia. Maka bersiap, berarti bertahan. Tidak
siap, berarti menjadi korban.
Dalam dua dekade terakhir, kita
menyaksikan betapa cepatnya api konflik bisa menyebar dan melalap wilayah yang
sebelumnya tampak damai. Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 2022, misalnya,
telah mengembalikan mimpi buruk Perang Dingin ke Eropa. Lalu konflik antara
Hamas dan Israel yang terus berkecamuk di Timur Tengah, yang pada gilirannya
memantik eskalasi regional seperti keterlibatan Iran dan Amerika Serikat. India
dan Pakistan juga masih terjebak dalam ketegangan kronis, khususnya di wilayah
Kashmir. Bahkan di Asia Tenggara, ketegangan militer antara Kamboja dan
Thailand pernah memanas hanya karena sengketa candi kuno di wilayah perbatasan.
Semua ini membuktikan bahwa perdamaian adalah kondisi yang rapuh—ia membutuhkan
penjaga, bukan sekadar doa.
![]() |
Sumber: https://depositphotos.com/ |
Perang Tak Lagi Konvensional
Yang menarik, bentuk perang hari
ini tidak selalu konvensional. Selain konflik bersenjata yang nyata di medan
tempur, kita juga dihadapkan pada berbagai bentuk “perang baru”—mulai dari
perang siber, perang ekonomi, hingga perang opini dan propaganda. Serangan
siber terhadap infrastruktur kritis suatu negara kini bisa melumpuhkan sistem
keuangan, jaringan listrik, bahkan pertahanan militer tanpa satu peluru pun
ditembakkan. Dalam konteks ini, persiapan bukan hanya bersifat fisik, tetapi
juga digital dan intelektual.
Dunia global kini semakin
kompleks dan multipolar. Ketika satu konflik meletus, efeknya bisa langsung
terasa di berbagai belahan dunia lain. Ketika Rusia menginvasi Ukraina,
misalnya, tidak hanya Eropa yang terguncang. Harga energi global melonjak,
pasokan gandum terganggu, dan NATO pun memperkuat posisi militernya. Amerika
Serikat, sebagai adidaya, kerap terlibat dalam berbagai konflik, baik sebagai
pemain utama maupun sebagai pengatur panggung dari belakang layar. Situasi ini
membuat negara-negara lain, termasuk yang secara geografis jauh dari pusat
konflik, tak bisa berdiam diri.
Lonjakan Anggaran Pertahanan
Global
Tidak mengherankan jika data
global menunjukkan tren kenaikan signifikan dalam anggaran pertahanan hampir di
seluruh dunia. Menurut laporan Stockholm International Peace Research
Institute (SIPRI), belanja militer dunia pada tahun 2024 mencapai rekor
tertinggi sepanjang sejarah, dengan total lebih dari USD 2,4 triliun. Amerika
Serikat tetap menjadi negara dengan anggaran militer terbesar, diikuti oleh
China, Rusia, India, dan Arab Saudi. Bahkan negara-negara kecil seperti
Singapura dan Qatar pun turut menaikkan anggaran militer mereka secara
substansial.
Apa yang terjadi bukanlah
paranoia, melainkan kalkulasi rasional. Dalam politik internasional yang
anarkis dan tanpa otoritas tunggal, keamanan adalah urusan masing-masing
negara. Dalam kerangka realisme politik, negara adalah aktor rasional yang
selalu mengejar kepentingan nasionalnya, termasuk dalam hal bertahan hidup.
Persiapan pertahanan yang kuat menjadi jaminan kelangsungan kedaulatan.
Negara-negara yang berpikir logis memahami bahwa tidak ada gunanya berharap
pada belas kasih negara lain atau mengandalkan moralitas internasional yang
rapuh.
Modernisasi Alutsista dan
Aliansi Strategis
Sebagai bagian dari persiapan
tersebut, modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) menjadi
prioritas banyak negara. Modernisasi ini bukan semata soal membeli lebih banyak
tank atau jet tempur, tetapi juga mengembangkan kemampuan pertahanan berbasis
teknologi tinggi: rudal hipersonik, sistem pertahanan udara canggih, kapal
selam siluman, hingga kecerdasan buatan dalam sistem komando tempur. Kompetisi
senjata kini bahkan memasuki ranah luar angkasa, dengan satelit militer dan
sistem anti-satelit menjadi bagian dari doktrin pertahanan.
Selain itu, negara-negara
cenderung membentuk atau memperkuat aliansi militer untuk menambah daya tawar
dan mengamankan eksistensinya. NATO misalnya, kembali mendapat relevansi baru
setelah invasi Rusia ke Ukraina. Di Asia, aliansi pertahanan seperti AUKUS
(Australia–UK–US) dan Quad (AS–India–Australia–Jepang) mulai terbentuk untuk
menyeimbangkan kekuatan China. Di Timur Tengah, poros-poros militer juga
terbentuk antara Iran dan milisi proksinya melawan koalisi Arab yang dipimpin
Arab Saudi.
Dampak terhadap Dunia
Berkembang
Sayangnya, lonjakan anggaran
militer ini juga membawa dilema tersendiri, terutama bagi negara-negara
berkembang. Di satu sisi, mereka dituntut untuk memperkuat pertahanan
nasionalnya demi menghadapi ketidakpastian geopolitik. Namun di sisi lain,
peningkatan belanja militer seringkali berarti pengurangan alokasi anggaran
untuk sektor vital lain seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan
infrastruktur. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan yang bijak diperlukan
agar strategi pertahanan tidak mengorbankan pembangunan manusia secara
keseluruhan.
Namun, pada akhirnya, pilihan
tetap harus dibuat. Menjadi lemah adalah undangan terbuka bagi agresi. Sejarah
telah mengajarkan kita bahwa negara-negara yang tidak siap mempertahankan
dirinya sendiri sering kali menjadi korban kolonialisme, intervensi, bahkan
genosida. Dari Kekaisaran Ottoman hingga Yugoslavia, dari Libya hingga
Suriah—semuanya menunjukkan satu pola: negara yang gagal menjaga otoritas
militernya, cepat atau lambat akan runtuh atau dijajah.
Indonesia dan Tantangan Masa
Depan
Dalam konteks Indonesia, adagium civis
pacem para bellum juga menjadi sangat relevan. Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia dengan ribuan pulau dan wilayah laut yang luas, Indonesia
menghadapi tantangan geopolitik yang unik. Letaknya yang strategis di antara
Samudera Hindia dan Pasifik membuatnya rentan terhadap konflik regional,
terutama yang berkaitan dengan Laut China Selatan, keamanan maritim, hingga
ancaman terorisme lintas batas.
Modernisasi TNI, penguatan
pertahanan laut dan udara, serta pengembangan industri pertahanan dalam negeri
adalah langkah-langkah penting yang harus terus diakselerasi. Selain itu,
Indonesia juga harus memainkan peran diplomasi aktif—baik dalam forum regional
seperti ASEAN maupun global seperti PBB—untuk menjaga keseimbangan kekuatan di
kawasan. Keseimbangan antara kekuatan keras (hard power) dan kekuatan
lunak (soft power) adalah kunci bagi negara sebesar dan sekompleks
Indonesia.
Kesimpulan: Damai Melalui
Kesiapan
Pada akhirnya, ungkapan civis
pacem para bellum bukanlah glorifikasi terhadap perang, melainkan seruan
akan pentingnya kesiapsiagaan. Perdamaian sejati hanya bisa dicapai jika suatu
negara memiliki kemampuan untuk mempertahankannya. Tanpa kesiapan, perdamaian
hanyalah ilusi yang dapat hancur kapan saja. Di tengah dunia yang penuh gejolak
ini, hanya negara yang bersiap dan berani yang akan tetap tegak berdiri. Dan
justru kesiapan itulah, yang bisa mencegah perang itu sendiri.
Perang adalah nyata. Maka bersiaplah.
0 Response to "Perang Itu Nyata, Maka Bersiaplah!"
Post a Comment