Perang Itu Nyata, Maka Bersiaplah! | Paradigma Bintang

Perang Itu Nyata, Maka Bersiaplah!

Si vis pacem, para bellum”—Jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Ungkapan klasik berbahasa Latin ini bukan sekadar pepatah kosong yang terlontar dari mulut para jenderal zaman Romawi. Ia telah menjelma menjadi prinsip strategis yang dipeluk oleh banyak negara hingga hari ini. Dunia modern, meskipun dihiasi slogan-slogan diplomatik dan multilateralisme, tetap hidup di bawah bayang-bayang konflik bersenjata. Perang, nyatanya, adalah realitas yang tak terelakkan dalam sejarah umat manusia. Maka bersiap, berarti bertahan. Tidak siap, berarti menjadi korban.

Dalam dua dekade terakhir, kita menyaksikan betapa cepatnya api konflik bisa menyebar dan melalap wilayah yang sebelumnya tampak damai. Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 2022, misalnya, telah mengembalikan mimpi buruk Perang Dingin ke Eropa. Lalu konflik antara Hamas dan Israel yang terus berkecamuk di Timur Tengah, yang pada gilirannya memantik eskalasi regional seperti keterlibatan Iran dan Amerika Serikat. India dan Pakistan juga masih terjebak dalam ketegangan kronis, khususnya di wilayah Kashmir. Bahkan di Asia Tenggara, ketegangan militer antara Kamboja dan Thailand pernah memanas hanya karena sengketa candi kuno di wilayah perbatasan. Semua ini membuktikan bahwa perdamaian adalah kondisi yang rapuh—ia membutuhkan penjaga, bukan sekadar doa.

Perang Itu Nyata, Maka Bersiaplah!
Sumber: https://depositphotos.com/ 

Perang Tak Lagi Konvensional

Yang menarik, bentuk perang hari ini tidak selalu konvensional. Selain konflik bersenjata yang nyata di medan tempur, kita juga dihadapkan pada berbagai bentuk “perang baru”—mulai dari perang siber, perang ekonomi, hingga perang opini dan propaganda. Serangan siber terhadap infrastruktur kritis suatu negara kini bisa melumpuhkan sistem keuangan, jaringan listrik, bahkan pertahanan militer tanpa satu peluru pun ditembakkan. Dalam konteks ini, persiapan bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga digital dan intelektual.

Dunia global kini semakin kompleks dan multipolar. Ketika satu konflik meletus, efeknya bisa langsung terasa di berbagai belahan dunia lain. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, misalnya, tidak hanya Eropa yang terguncang. Harga energi global melonjak, pasokan gandum terganggu, dan NATO pun memperkuat posisi militernya. Amerika Serikat, sebagai adidaya, kerap terlibat dalam berbagai konflik, baik sebagai pemain utama maupun sebagai pengatur panggung dari belakang layar. Situasi ini membuat negara-negara lain, termasuk yang secara geografis jauh dari pusat konflik, tak bisa berdiam diri.

Lonjakan Anggaran Pertahanan Global

Tidak mengherankan jika data global menunjukkan tren kenaikan signifikan dalam anggaran pertahanan hampir di seluruh dunia. Menurut laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), belanja militer dunia pada tahun 2024 mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, dengan total lebih dari USD 2,4 triliun. Amerika Serikat tetap menjadi negara dengan anggaran militer terbesar, diikuti oleh China, Rusia, India, dan Arab Saudi. Bahkan negara-negara kecil seperti Singapura dan Qatar pun turut menaikkan anggaran militer mereka secara substansial.

Apa yang terjadi bukanlah paranoia, melainkan kalkulasi rasional. Dalam politik internasional yang anarkis dan tanpa otoritas tunggal, keamanan adalah urusan masing-masing negara. Dalam kerangka realisme politik, negara adalah aktor rasional yang selalu mengejar kepentingan nasionalnya, termasuk dalam hal bertahan hidup. Persiapan pertahanan yang kuat menjadi jaminan kelangsungan kedaulatan. Negara-negara yang berpikir logis memahami bahwa tidak ada gunanya berharap pada belas kasih negara lain atau mengandalkan moralitas internasional yang rapuh.

Modernisasi Alutsista dan Aliansi Strategis

Sebagai bagian dari persiapan tersebut, modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) menjadi prioritas banyak negara. Modernisasi ini bukan semata soal membeli lebih banyak tank atau jet tempur, tetapi juga mengembangkan kemampuan pertahanan berbasis teknologi tinggi: rudal hipersonik, sistem pertahanan udara canggih, kapal selam siluman, hingga kecerdasan buatan dalam sistem komando tempur. Kompetisi senjata kini bahkan memasuki ranah luar angkasa, dengan satelit militer dan sistem anti-satelit menjadi bagian dari doktrin pertahanan.

Selain itu, negara-negara cenderung membentuk atau memperkuat aliansi militer untuk menambah daya tawar dan mengamankan eksistensinya. NATO misalnya, kembali mendapat relevansi baru setelah invasi Rusia ke Ukraina. Di Asia, aliansi pertahanan seperti AUKUS (Australia–UK–US) dan Quad (AS–India–Australia–Jepang) mulai terbentuk untuk menyeimbangkan kekuatan China. Di Timur Tengah, poros-poros militer juga terbentuk antara Iran dan milisi proksinya melawan koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi.

Dampak terhadap Dunia Berkembang

Sayangnya, lonjakan anggaran militer ini juga membawa dilema tersendiri, terutama bagi negara-negara berkembang. Di satu sisi, mereka dituntut untuk memperkuat pertahanan nasionalnya demi menghadapi ketidakpastian geopolitik. Namun di sisi lain, peningkatan belanja militer seringkali berarti pengurangan alokasi anggaran untuk sektor vital lain seperti pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur. Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan yang bijak diperlukan agar strategi pertahanan tidak mengorbankan pembangunan manusia secara keseluruhan.

Namun, pada akhirnya, pilihan tetap harus dibuat. Menjadi lemah adalah undangan terbuka bagi agresi. Sejarah telah mengajarkan kita bahwa negara-negara yang tidak siap mempertahankan dirinya sendiri sering kali menjadi korban kolonialisme, intervensi, bahkan genosida. Dari Kekaisaran Ottoman hingga Yugoslavia, dari Libya hingga Suriah—semuanya menunjukkan satu pola: negara yang gagal menjaga otoritas militernya, cepat atau lambat akan runtuh atau dijajah.

Indonesia dan Tantangan Masa Depan

Dalam konteks Indonesia, adagium civis pacem para bellum juga menjadi sangat relevan. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan ribuan pulau dan wilayah laut yang luas, Indonesia menghadapi tantangan geopolitik yang unik. Letaknya yang strategis di antara Samudera Hindia dan Pasifik membuatnya rentan terhadap konflik regional, terutama yang berkaitan dengan Laut China Selatan, keamanan maritim, hingga ancaman terorisme lintas batas.

Modernisasi TNI, penguatan pertahanan laut dan udara, serta pengembangan industri pertahanan dalam negeri adalah langkah-langkah penting yang harus terus diakselerasi. Selain itu, Indonesia juga harus memainkan peran diplomasi aktif—baik dalam forum regional seperti ASEAN maupun global seperti PBB—untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan. Keseimbangan antara kekuatan keras (hard power) dan kekuatan lunak (soft power) adalah kunci bagi negara sebesar dan sekompleks Indonesia.

Kesimpulan: Damai Melalui Kesiapan

Pada akhirnya, ungkapan civis pacem para bellum bukanlah glorifikasi terhadap perang, melainkan seruan akan pentingnya kesiapsiagaan. Perdamaian sejati hanya bisa dicapai jika suatu negara memiliki kemampuan untuk mempertahankannya. Tanpa kesiapan, perdamaian hanyalah ilusi yang dapat hancur kapan saja. Di tengah dunia yang penuh gejolak ini, hanya negara yang bersiap dan berani yang akan tetap tegak berdiri. Dan justru kesiapan itulah, yang bisa mencegah perang itu sendiri.

Perang adalah nyata. Maka bersiaplah.

0 Response to "Perang Itu Nyata, Maka Bersiaplah!"

Post a Comment