Amerika Serikat telah resmi
terlibat dalam perang terbuka antara Israel dan Iran. Pada tanggal 21 Juni
2025, militer AS melancarkan serangan udara skala besar ke tiga fasilitas
nuklir utama Iran: Natanz, Fordow, dan Isfahan. Serangan ini dilakukan sebagai
bagian dari dukungan eksplisit Washington terhadap Tel Aviv, yang sejak awal
tahun telah terlibat konflik berkepanjangan dengan Teheran.
Presiden AS menyebut langkah ini
sebagai “respons strategis terhadap ancaman eksistensial yang ditimbulkan oleh
program nuklir Iran.” Namun bagi Teheran, serangan ini adalah deklarasi perang
secara resmi. “Amerika telah menunjukkan wajah aslinya,” ujar Pemimpin
Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. “Perang telah dimulai. Kami tidak akan
tinggal diam.”
![]() |
Sumber: Reuters.com |
Iran dan Aliansinya Bangkit
Dalam hitungan jam, Iran
meluncurkan serangan balasan ke beberapa pangkalan militer AS di Irak dan Qatar
dengan rudal balistik dan drone tempur. Selain itu, Iran mengaktifkan
koordinasi militer dengan jaringan aliansinya: Houthi di Yaman, Hizbollah di Lebanon,
Hamas dan Jihad Islam di Palestina, serta milisi Syiah di Suriah dan Irak.
Kelompok Houthi meningkatkan
serangan terhadap jalur pelayaran di Laut Merah, memaksa banyak kapal dagang
mengalihkan rute. Hizbollah meluncurkan ratusan roket ke wilayah utara Israel,
memaksa evakuasi massal di Galilea. Hamas memperbaharui serangan dari Gaza,
memperkeruh krisis kemanusiaan di wilayah yang telah lama terisolasi.
Rusia, China, dan Korea Utara
turut menyampaikan dukungan politik kepada Iran. Rusia menyebut serangan AS
sebagai “tindakan agresif yang memicu ketidakstabilan global,” sementara China
mengecam eskalasi militer dan menyerukan pertemuan darurat multilatelar. Belum
ada langkah militer terbuka dari ketiga negara ini, tetapi aktivitas mereka di
Laut Cina Selatan dan Mediterania mulai menunjukkan sinyal tekanan terselubung
terhadap blok Barat.
Pasar Global Mulai Terguncang
Konflik yang meledak ini langsung
memicu kepanikan di pasar global. Harga minyak mentah jenis Brent melonjak
hingga menyentuh angka sekitar $78 per barel, tertinggi dalam beberapa
minggu terakhir. Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran gangguan pasokan dari
kawasan Teluk dan potensi blokade Selat Hormuz—jalur vital yang dilalui sekitar
20% minyak dunia.
Meski belum mencapai angka krisis
seperti yang sempat terjadi pada 2008, pasar menunjukkan sensitivitas tinggi.
Bursa saham di Eropa dan Asia langsung terkoreksi. Indeks Nikkei dan DAX turun
lebih dari 2% hanya dalam satu hari. Harga emas melonjak sebagai aset safe
haven, sementara nilai tukar mata uang negara berkembang mulai melemah terhadap
dolar AS.
Bank-bank sentral di berbagai
negara kini dipaksa mengkaji ulang rencana pemulihan ekonomi pasca-pandemi,
dengan inflasi dan tekanan geopolitik sebagai faktor baru yang tak bisa
diabaikan.
Dewan Keamanan Lumpuh,
Diplomasi Tersandera Veto
Dewan Keamanan PBB menggelar
sidang darurat. AS menyatakan serangannya sah sebagai bentuk “pertahanan
kolektif” terhadap ancaman nuklir. Sebaliknya, Rusia dan China menuduh AS
memprovokasi perang kawasan. Seperti biasa, veto dari negara-negara besar membuat
PBB tidak mampu mengeluarkan resolusi yang efektif.
Beberapa negara netral seperti
Turki, Qatar, dan Swiss mencoba memediasi. Namun tekanan militer yang kian
masif dan panasnya opini publik di dalam negeri membuat ruang negosiasi sangat
sempit. Laporan dari Muscat menyebutkan adanya pertemuan rahasia antara
diplomat Iran dan negara-negara Eropa, namun hasilnya belum menjanjikan.
Dunia Menggigil di Ambang
Konflik Global
Dengan keterlibatan langsung
Amerika Serikat dan potensi aktifnya Rusia serta China di belakang Iran, dunia
kini menghadapi risiko pecahnya konflik global terbuka. Banyak pengamat
menyebut situasi saat ini sebagai krisis geopolitik paling berbahaya sejak
Perang Dunia II dan Perang Teluk pertama.
Sekutu-sekutu NATO berada dalam
posisi serba salah. Inggris dan Prancis menyuarakan dukungan terbatas terhadap
AS, namun juga mendorong penyelesaian diplomatik. Jerman dan negara-negara
Eropa Timur cenderung lebih berhati-hati karena kekhawatiran akan krisis
pengungsi dan dampak ekonomi domestik.
Jika eskalasi ini terus
berlanjut—misalnya bila Rusia memasok sistem pertahanan canggih ke Iran, atau
jika China melakukan langkah militer terbuka—maka risiko pecahnya Perang Dunia
Ketiga bukan lagi isapan jempol.
Krisis Kemanusiaan Mengintai
Di tengah hiruk-pikuk senjata dan
diplomasi macet, warga sipil menjadi korban nyata. Di Iran, serangan udara
menghancurkan infrastruktur penting dan memicu kepanikan luas. Di Gaza, Beirut
Selatan, dan wilayah perbatasan Israel, ribuan orang mengungsi tanpa kejelasan.
Laporan dari UNHCR menyebutkan lebih dari 600.000 orang kini dalam status
pengungsi baru sejak konflik ini memanas sepekan terakhir.
Organisasi kemanusiaan menghadapi
tantangan berat. Akses ke zona konflik dibatasi, sementara pengiriman bantuan
terhambat karena risiko keamanan dan pembatasan militer. Laporan kemanusiaan
dari Palang Merah mengkhawatirkan meningkatnya angka kelaparan, krisis medis,
dan korban anak-anak jika perang terus berlanjut.
Dunia Menanti: Jalan Damai
atau Jalan Api?
Kini dunia menunggu langkah
berikutnya. Apakah akan ada jeda untuk membuka jalan diplomasi, atau justru
ledakan lebih besar yang akan meluas ke seluruh kawasan Timur Tengah dan bahkan
ke luar regional?
Perang ini bukan hanya tentang Iran dan Israel. Ini adalah ujian nyata bagi tatanan global yang rapuh, bagi kredibilitas diplomasi internasional, dan bagi kemanusiaan itu sendiri. Sejarah tengah menulis bab barunya—dan dunia tengah berharap, agar bab ini bukan awal dari akhir.
0 Response to "Amerika Serikat Terjun ke Perang Iran-Israel: Dunia di Ambang Krisis Global"
Post a Comment