Baru-baru ini publik dihebohkan dengan terkuaknya skandal-skandal
besar yang sangat mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Beberapa di antaranya, terbongkarnya
kasus pelecahan seksual terhadap mahasiswi yang dilakukan oleh oknum guru besar
suatu perguruan tinggi negeri ternama di Tanah Air. Juga terungkapnya kasus
kejahatan seksual terhadap anggota keluarga pasien sebuah Rumah Sakit
Pemerintah yang dilakukan oleh oknum dokter yang sedang menempuh pendidikan
spesialis kedokteran. Maraknya tawuran pemuda yang dilakukan sekolompok anak
yang masih berstatus pelajar. Masifnya budaya menyontek dan plagiarisme di
lingkungan sekolah dan perguruan tinggi sebagaimana rilis hasil riset Komisi
Pemberantasan Korupsi beberapa waktu lalu.
Terbaru, kecurangan seleksi nasional penerimaan mahasiswa
baru dalam seleksi nasional berbasis tes menggunakan komputer dengan melibatkan
banyak oknum dan sindikat mulai dari mahasiswa yang berperan seperti joki
ujian, oknum internal kampus penyelenggara tes, oknum penyelenggara bimbingan
belajar, dan oknum peserta tes sendiri juga berhasil terbongkar.
Modusnya sangat variatif, ada yang memasang alat canggih
seperti kamera di behel gigi, kaca mata dan di bagian tubuh tertentu peserta
ujian untuk merekam soal di layar komputer, mengganti foto peserta ujian dengan
foto joki, memasang aplikasi remot kontrol di komputer ujian agar kemudian soal
dikerjakan oleh joki di luar ruangan, dan sebagainya. Inilah potret pendidikan
nasional kita dewasa ini.
80 tahun berlalu setelah Proklamasi kemerdekaan dibacakan Ir.
Sukarno, sistem pendidikan Indonesia ternyata tidak benar-benar memerdekakan
bangsa ini seutuhnya dari kegelapan. Berkaca dari fakta yang ada,
ketidakjujuran, premanisme, mentalitas instan, menggampangkan segala cara untuk
mencapai tujuan, membiarkan nafsu atau syahwat binatang menguasai diri, merupakan
sederet persoalan serius yang kerap membelenggu pendidik, peserta didik,
penyelenggara pendidikan di Indonesia sehingga akibat ulah mereka pendidikan
Indonesia menjadi tampak suram. Dengan kata lain, setelah delapan dekade
Indonesia merdeka, pendidikan Indonesia nyatanya belum benar-benar berhasil mencetak
insan-insan Indonesia yang berkarakter, bermental jujur, menjadi petarung hebat dengan mentalitas
kuat, berakhlak mulia serta komitmen mengamalkan nilai-nilai luhur ajaran
agama.
Pendidikan Indonesia memang tidak sepenuhnya gagal, sebagian anak
bangsa memang berhasil dicetak menjadi anak-anak cerdas secara akademik, unggul
di bidang sains dan teknologi. Namun ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang
kemudian menjadi pribadi-pribadi yang korup, predator seksual, dan pemuja nafsu
duniawi. Kita harus berbesar hati menerima kenyataan ini sambil lalu berani
mengajukan pertanyaan kritis, mengapa tujuan pendidikan nasional Indonesia terkesan
tidak mampu menghasilkan manusia-manusia terdidik yang jujur, berakhlak mulia
sebagaimana yang menjadi cita-cita dan amanat undang-undang sistem pendidikan
nasional? Jawabannya karena semenjak dini, para peserta didik minim keteladanan
dari para pendidiknya.
Kita mulai dari yang sederhana, bagaimana bisa, anak diminta
untuk berperilaku jujur jika guru, kepala sekolah, tidak jujur denggan
angggaran sekolah, tidak mau membuka berapa angggaran di tahun ajaran berjalan.
Dan jika ditanya berapa anggaran sekolah justru terlihat mengelak dan enggan
menjawab dengan lugas. Bagaimana mungkin, mahasiswa akan bersikap jujur dan
terbuka, jika rektor, dekan, kepala prodi/jurusan tidak terbuka dengan
angggaran di kampus atau satuan pendidikan yang mereka pimpin? Karena itu, saya
tidak terlalu terkejut menyaksikan fenomena banyaknya penyimpangan di dunia
pendidikan Indonesia belakangan ini.
Bahwa jangan pernah mengharapkan peserta didik lurus dan
berada dalam koridor jalan yang benar jika yang menjalankan peran sebagai
pendidik tidak benar-benar memberikan teladan terbaik yang patut ditiru oleh
anak didiknya. Sederhananya, jangan pernah seorang pendidik berharap anak
didiknya disiplin jika dirinya sendiri tidak disiplin. Jangan pernah kaget
melihat anak-anak murid di kemudian hari menjadi koruptor, penjahat seksual
jika saat mereka digembleng di bangku sekolah dan perguruan tinggi para pendidiknya
cenderung korup, permisif dengan perilaku asusila dan tidak mengajarkan
bagaimana seharusnya menjadi manusia yang mulia. Maka ujungnya berpulang pada
seberapa kuat keteladanan para pendidik.
Pendidikan apa pun jenjang dan tingkatannya adalah tentang
memanusiakan manusia, tentang juga memerdekakan manusia dari kegelapan, tentang
juga mengantarkan peserta didik melewati proses panjang guna menjadi manusia yang
berketuhanan, berkarakter, berpengetahuan, berketerampilan, berdayaguna, dan
memiliki dampak yang luas. Sebagai bangsa yang konsisten menjadikan Pancasila
sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara, saya meyakini solusi dari
peliknya persoalan pendidikan Indonesia adalah kembali ke sila pertama
Pancasila. Sila ini secara eksplisit mengajarkan arti penting nilai Ketuhanan.
Di dalamnya terkandung makna bahwa pendidikan harus mengantarkan anak didik
mengenal siapa Tuhannya, apa perintah dan larangannya, bagaimana menjadi
manusia yang disayang Tuhan, dan sebagainya.
Pendidikan yang baik pada akhirnya akan sukses menjadikan
manusia memiliki disiplin yang kuat, sadar bahwa Tuhan selalu hadir dalam
setiap detik tingkah laku manusia, tidak ada yang luput dari pengawasannya.
Untuk menempa anak didik berketuhanan tentu perlu latihan dan di sinilah
pentingnya peran pendidik seperti guru, dosen, orang tua, dan masyarakat.
Sekolah perlu memberi anak instrumen latihan mengenal Tuhan dengan cara
seperti, mendirikan kantin kejujuran untuk melatih pelajar/mahasiswa bersikap
jujur, membiarkan pelajar/mahasiswa mengerjakan soal ujian tanpa diawasi oleh
pengawas manusia, namun, tetap diawasi dengan misalnya CCTV, menghidupkan rumah
ibadah seperti musala atau masjid sekolah/kampus dengan aktivitas spiritual
yang dapat meningkatkan literasi keagamaan para penghuni sekolah/kampus
sehingga mereka dapat lebih tercerahkan tentang apa yang agama bolehkan dan apa
yang agama larang dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Munculnya solusi mengirim anak-anak nakal ke barak militer
untuk membuat mereka disiplin barangkali ada sisi positifnya sepanjang tidak
membuat peran pendidik di sekolah, rumah, dan masyarakat lepas tangan dalam
membina anak. Adanya inisiatif pemerintah yang membuat satgas Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan kampus untuk melawan segala
kejahatan seksual beberapa tahun lalu patut diapresiasi. Namun, mengapa setelah
satgas PPKS dibentuk, kejahatan seksual di lingkungan pendidikan tinggi masih
terus ada dan berulang? Sekali lagi, di sinilah pentingnya nilai-nilai Ketuhanan
dan literasi keagamaan.
![]() |
Ilustrasi generasi muda, sumber :pexels |
Bahwa selagi manusia tidak benar-benar mengenal Tuhannya, tidak mengetahui apa yang dibenci Tuhan, tidak takut dengan apa ancaman Tuhan terhadap hamba yang membangkang, sejauh itu pula kejahatan masih akan terjadi. Kita tentu tidak ingin sila Ketuhanan Yang Maha Esa hanya menjadi pepesan kosong tanpa aksi nyata dan tindak lanjut konkret. Karena itulah, saya meyakini jika pemangku kepentingan pendidikan nasional Indonesia serius ingin menyaksikan lahirnya lulusan-lulusan masa depan hasil pendidikan Indonesia yang seimbang antara otak dan akhlak, maka penggemblengan agama, mental, dan karakter harus lebih dikedepankan sebelum penggemblengan akademik sehingga nantinya kita tidak akan lagi menjumpai koruptor, predator seksual, preman, teroris, dan narapidana dari kalangan intelek yang terdidik.
0 Response to "Jalan Terang Gelapnya Pendidikan Indonesia"
Post a Comment