MK dan Inkonsistensi Putusan yang Membingungkan | Paradigma Bintang

MK dan Inkonsistensi Putusan yang Membingungkan

Terjawab sudah rasa penasaran publik perihal hasil uji materi Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang syarat batas usia capres-cawapres. Dalam sidang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada hari Senin, 16 Oktober 2023, di Gedung MK Jakarta Pusat, MK secara resmi membolehkan warga negara Indonesia yang belum berusia 40 tahun, namun sedang atau pernah berpengalaman menjadi kepala daerah atau berpengalaman menduduki jabatan lain yang dipilih melalui mekanisme pemilu mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden dalam Pilpres 2024. 

MK dan Inkonsistensi Putusan yang Membingungkan
Sumber gambar: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY

Ini artinya, peluang Wali Kota Solo, Gibran yang sebelumnya terkunci alias tidak dapat maju mencalonkan diri dalam Pilpres 2024 karena terhalang undang-undang terbuka lebar. Dengan kata lain, Gibran sangat diuntungkan dengan adanya putusan MK tersebut, karpet merah sudah digelar MK untuk seorang Gibran dan siapa pun kepala daerah atau mantan kepala daerah belum berusia 40 tahun maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Terlebih khusus, keluarnya putusan resmi MK tersebut adalah momentum emas bagi Gibran bisa mendampingi Prabowo Subianto yang dalam pengakuan Gibran sendiri Prabowo telah berkali-kali meminangnya menjadi bakal cawapres. Tinggal sekarang apakah Gibran mau mengambil tawaran tersebut atau tetap setia bersama barisan PDI-P memenangkan Ganjar Pranowo sebagai suksesor Jokowi.

Setiap pilihan tentu ada konsekuensinya, jika Gibran memilih menerima tawaran Prabowo, itu artinya Gibran melawan PDI-P partai tempat ia bernaung selama ini sehingga secara otomatis ia keluar dari keanggotaan dan kader PDI-P. Mau milih setia atau sebaliknya? Semuanya berpulang pada Gibran, mana langkah politik yang mau diambil?

Kembali ke pokok tulisan, hemat penulis, putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres terkesan inkonsisten dan cenderung membingungkan. Dikatakan demikian karena dari beberapa putusan yang dibacakan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres, awalnya MK menolak yang dibuktikan dengan putusan penolakan MK terhadap tiga gugatan Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh pihak-pihak seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan para kepala daerah.

MK berdalih bahwa penentuan syarat batas usia capres-cawapres merupakan open legal policy atau ranah pembuat undang-undang seperti DPR dan Pemerintah. Dari histori pembuatan putusan, semua hakim MK kecuali Anwar Usman yang notebene merupakan ipar Jokowi dan paman ipar Gibran hadir dalam rapat permusyawaratan hakim terhadap tiga perkara tersebut. Hasilnya, gugatan batas usia capres-cawapres ditolak.

Namun demikian, kebijakan MK menjadi berubah 180 derajat saat rapat permusyawaratan hakim terhadap gugatan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dihadiri Anwar Usman. MK mengabulkan sebagian gugatan pemohon dan menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

Terhadap putusan ini, dua hakim MK yaitu Saldi Isra dan Arief Hidayat mengaku heran dan bertanya-tanya mengapa kebijakan MK berubah drastis dalam sekejap. Awalnya menolak lalu menerima dengan pemanis mengabulkan sebagian. Saldi Isra bahkan mengaku benar-benar terkejut, sepanjang menjadi hakim MK selama enam tahun lebih semenjak tahun 2017, baru kali ini ia merasakan anomali luar biasa. Wujudnya, pada pagi hari MK membacakan putusan menolak, namun, pada sore harinya menyatakan menerima.

Saldi bahkan menyatakan, MK masuk jebakan politik dengan membolehkan kepala daerah belum berusia 40 tahun mendaftar sebagai capres-cawapres. Senada dengan Saldi Isra, hakim MK Arief Hidayat juga mengaku sangat terusik hati nuraninya. Ia merasa ada yang aneh dan ganjil dengan putusan MK terkait gugatan a quo batas usia capres mulai dari penjadwalan sidang yang terkesan lama dan diundur, kehadiran atau turut sertanya Anwar Usman dalam sidang permusyawaratan hakim terhadap gugatan batas usia capres yang kemudian berujung dikabulkan padahal sebelumnya saat Anwar Usman tidak hadir MK menyatakan menolak. Arief merasa putusan MK berada di luar nalar yang dapat diterima alias aneh.

Jika Saldi Isra dan Arief Hidayat yang merupakan hakim MK dan bergelar profesor atau guru besar saja bingung serta merasa janggal dengan putusan MK di bawah pengaruh kepemimpinan Anwar Usman yang menambahkan norrma baru pada gugatan syarat batas usia capres-cawapres yang sejatinya merupakan wewenang penuh DPR selaku pembentuk undang-undang, bagaimana dengan publik awam dan orang-orang yang kritis dengan terbuka lebarnya politik dinasti Jokowi setelah putusan MK ini langsung berlaku pada Pilpres 2024? Kemungkinan MK akan tergerus citranya.

Lain waktu, ada baiknya hakim MK yang memiliki potensi benturan kepentingan dengan perkara yang sedang diujikan di peradilan konstitusi perlu bersikap konsisten seperti jika di awal memilih tidak hadir saat rapat putusan musyawarah hakim diambil, berikutnya jika ada gugatan yang serupa hakim bersangkutan tidak perlu hadir  pula agar tidak ada belokan putusan MK dalam tempo sekelebat sehingga citra dan indepensi MK tetap terjaga.

Dengan begitu MK tetap dipercaya publik, imparsial, berpihak pada sebesar-besarnya kepentingan bangsa dan negara, bukan pada kepentingan diri, keluarga, dan kelompok tertentu. Jangan sampai MK diplesetkan menjadi Mahkamah Kepentingan atau Mahkamah Keluarga. MK adalah mahkamah kebanggaan Indonesia yang bertanggung jawab menjaga peradaban konstitusi, demokrasi, dan sistem ketatanegaraan Indonesia berjalan sesuai dengan koridornya.

0 Response to "MK dan Inkonsistensi Putusan yang Membingungkan"

Post a Comment