Setelah Sarjana, Mau Ngapain? | Paradigma Bintang

Setelah Sarjana, Mau Ngapain?

Menjadi sarjana dan mengikuti segala seremoni acara wisuda penahbisan adalah momen indah yang membahagiakan siapapun yang mengalaminya. Momen itu langka terjadi dan bisa jadi sekali seumur hidup, karenanya tidak mengejutkan jika melihat orang diwisuda senangnya bukan main, seperti ketemu bidadari yang turun dari kayangan. Loncat sana loncat sini, karena kegirangan. 

Apapun itu, menjadi sarjana adalah akibat dari proses waktu sekian tahun bergelut dengan buku, jurnal, laboratorium, riset lapangan, perpustakaan, dosen pembimbing dan penguji tugas akhir. Pergumulan dengan mereka adalah rutinitas sekaligus tahapan yang lazim dilalui sebelum diakhiri dengan acara senang-senang macam melempar topi toga, berselfie dengan background rak bertumpuk buku dan makan-makan. 


Saya pribadi adalah sarjana dari suatu universitas negeri di Malang, sekedar bercerita santai, dahulu ketika saya diwisuda dan menyandang gelar sarjana, jujur yang ada terlintas dibenak saya waktu itu adalah munculnya pertanyaan besar: dengan titel sarjana yang saya genggam, kira-kira apa yang bisa saya lakukan? Kesarjanaan saya mau dibuat apa? Apa yang bisa saya berikan untuk ummat, negeri dan semesta?  Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menghampiri pikiran saya
.
Sederat pertanyaan di atas benar-benar membuat saya tertantang untuk menjawabnya. Saya pun tergerakkan untuk menentukan langkah aksi yang harus dibuktikan dalam praktik riil. Tahun pertama lulus, saya membuat target (timeline) setidaknya kesarjanaan saya maksimalkan untuk mengkomunikasikan idealisme seorang sarjana yang berpikiran ideal. Wujudnya, saya mencoba untuk berkarya ala sarjana sebagaimana semestinya. Kebetulan yang saya jadikan sebagai mahakarya pertama adalah tugas akahir alias skripsi saya sendiri. Ketika itu, saya merasa sayang sekali jika hasil kerja keras menggarap skripsi hanya majang di rak kampus dan tidak bisa diniakmati banya orang. Akhirnya, dengan kerja keras lagi saya berjuang untuk menyempurnakan isi skripsi tersebut, beberapa bagian ada yang dibuang dan ada beberapa bagian pula yang harus ditambahi. 

Ternyata butuh waktu untuk menghasilkan suatu karya, tidak bisa satu atau dua malam, dalam masa-masa proses kreatif itu saya menemukan indahnya sebuah perjuangan, bagaimana rasanya kehabisan ide, bagaimana cara membangkitkan mood yang mulai turun dan bagaimana akhirnya suatu karya bisa diterima dan dinikmati khalayak. Di antara sekian proses yang ada, hal yang paling mengesankan adalah masa di mana suatu karya harus ngorbit. Jujur, di sinilah seninya berkarya. Awal mula, saya mencoba peruntungan untuk memeperkenalkan karya pertama melalui situs www.nulisbuku.com, ternyata respoon pembaca lumayan. Selain itu, saya juga mencoba untuk menawarkan kepada penerbit-penerbit konvensional. Respon mereka, luar bisa beragam, ada yang menolak, ada yang masih ragu-ragu, dan ada yang menggantung harapan penulis. 

Menghadapi semua itu, saya putuskan tidak peduli dengan semua penolakan, karena saya yakin jika manusia menyerah, manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi besok hari jika menyerah hari ini. Jadi saya terus bertekad untuk melangkah, mengirimkn via email kepada penerbit. Penolakan demi penolakan masih terus saja terjadi, pernah terpikir untuk menyerah dan angkat tangan. Sampai pada suatu malam, saya begadang dan jujur seperti ada yang membisiki, coba saja sekali lagi malam ini karyamu kirim lagi ke alamat email penerbit yang pernah kau tulis di draft HP Nokiamu. Saya pun dengan lepas membuka akun Gmail dan mengkirimkan file karya pertama saya ke alamat email penerbit yang dimaksud. Seperti melepas beban, setelah mengirimkan file saya pun cendrung rileks alias plong. Karena semalam begadang, sehabis shalat subuh, sayapun langsung mendarat di Kasur untuk istirahat, di tengah lelapnya tidur itu, HP saya berdering tanpa henti, hingga saya pun terpaksa bangun untuk mengangkat telpon. Dengan mata yang masih ngantuk alias setengah sadar, saya perhatikan ada nomor baru masuk serta pesan baru yang berbunyi “tolong angkat telponnya, ini dari penerbit”. 

Tak lama berselang, HP saya berdering kembali, dan benar saja, ketika saya angkat, penelponnya adalah pihak penerbit yang semalam saya kirimin file karya saya. Dalam telpon, sosok itu mengabarkan bahwa penerbit sudah membaca sebagian besar isi file naskah yang saya kirim. Lebih lanjut, ia menyatakan ketertarikan dengan karya saya untuk kemudian diterbitkan. Saya pun menyambut baik tawaran tersebut, selang beberapa minggu akhirnya karya pertama saya terbit. Inilah buah dari sebuah perjuangan dan berkah dari idealisme seorang sarjana yang selalu mempertanyakan hakikat kesarjanaan yang diraihnya. 

Tidak sampai disini, saya pun kembali mempertanyakan diri sendiri, apa lagi yang akan saya lakukan? Layaknya seorang sarjana muda yang berpikiran normal ingin menata masa depan, saya pun mencoba peruntungan menjadi job seeker, masukin lamaran sana-sini, mengikuti serangkaian tes pertaruhan nasib. Beberapa ada yang kecantol dan mencoba untuk menjalaninya, namun karena tidak sesuai dengan idealisme serta hati nurani, akhirnya harus diakhiri. Idealisme saya terkait kerjaan adalah sebisa mungkin kerjaan membuat saya nyaman, betah, tidak bentrok dengan nilai-nilai agama yang saya yakini, dan pastinya membuat saya terus berkembang dan bermanfaat.

Sampai pada suatu saat, idealisme saya dijawab Tuhan, saya ditakdirkan berkarir sebagai  Sarjana Penggerak Desa Kemenpora RI. Sebuah misi yang berfokus pada kepemimpinan dan kepeloporan pemuda berbasis perdesaan. Di sinilah, saya merasa hidup yang sesungguhnya, segala idealisme saya tumpah ruah, durasi waktu dua tahun yang saya miliki sebagai sarjana penggerak desa benar-benar saya gunakan untuk memanjakan idealisme saya. Alhasil beberapa peran saya coba mainkan, mulai dari peran pemuda pelopor, penulis, konseptor, fasilitator, pendidik, pemberdaya, dinamisator, dan pemandiri pemuda dan masyarakat. Saya bahagia menjalani peran ini, karena dunia-akhirat ada di kerjaan ini. Dalam hitungan hari saya akan mengakhiri kerjaan ini, saya bemimpi idealisme saya masih terus menyala dan saya yakin harapan itu masih ada. Setelah ini, saya akan terus melanjutkan perjalanan, sampai jumpa di terminal selanjutnya!

3 Responses to "Setelah Sarjana, Mau Ngapain? "

  1. tulsian yang bagus, nyimak gan. kalo saya sih rencananya kerja sambil kuliah insyallah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasie gan..menurut saya, rencana yg mantap jika dalam satu waktu agan bisa kuliah sambil kerja. Tidak mudah mengawinkan dua hal dalam satu waktu..Sy dukung gan..Semoga sukses!

      Delete
  2. Makasie gan..menurut saya, rencana yg mantap jika dalam satu waktu agan bisa kuliah sambil kerja. Tidak mudah mengawinkan dua hal dalam satu waktu..Sy dukung gan..Semoga sukses!

    ReplyDelete