Setelah berbulan-bulan melakukan serangkaian negosiasi
intensif untuk menurunkan tarif dagang yang sebelumnya ditetapkan secara
sepihak oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, Indonesia akhirnya
harus menerima kenyataan pahit. Alih-alih berhasil menekan tarif, Indonesia
justru tetap dikenakan bea masuk sebesar 32 persen untuk sejumlah
komoditas ekspor unggulannya ke pasar Amerika. Tak hanya itu, bayang-bayang
ancaman penambahan tarif sebesar 10 persen kembali menghantui, seiring
dengan keterlibatan Indonesia dalam blok ekonomi baru, BRICS, yang
dinilai oleh Washington semakin menjauhkan negara-negara berkembang dari orbit
ekonomi Amerika Serikat.
Kondisi ini jelas menjadi pukulan telak bagi upaya diplomasi
ekonomi Indonesia. Alih-alih memperkuat posisi tawar di panggung global,
kebijakan luar negeri kita tampak kehilangan arah dan efektivitas. Pertanyaan
besarnya adalah: di mana letak kegagalan kita? Dan lebih penting lagi, apa
yang seharusnya dilakukan ke depan?
Ancaman Tarif dan Perubahan Lanskap Global
Tarif impor sebesar 32 persen bukanlah angka kecil. Dampaknya
sangat terasa bagi sektor industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan
elektronik ringan, yang selama ini menggantungkan ekspor ke pasar Amerika.
Perusahaan-perusahaan lokal terpaksa memangkas produksi, melakukan efisiensi
besar-besaran, bahkan merumahkan tenaga kerja demi bertahan. Banyak pelaku
usaha menilai bahwa tarif ini secara langsung membuat produk Indonesia tidak
lagi kompetitif dibandingkan dengan produk serupa dari negara lain seperti
Vietnam, Meksiko, atau Bangladesh yang memiliki perjanjian dagang lebih
menguntungkan dengan AS.
Yang lebih merisaukan adalah kemungkinan penambahan tarif
sebesar 10 persen. Hal ini muncul setelah Indonesia resmi bergabung dengan blok
BRICS, bersama Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan—kelompok
negara berkembang yang tengah berupaya membentuk poros ekonomi baru sebagai
tandingan dominasi barat. BRICS belakangan menjadi lebih vokal dalam mengecam
praktik perdagangan proteksionis yang dilakukan oleh AS dan sekutunya, termasuk
dalam isu perang dagang AS–Tiongkok. Indonesia, yang selama ini dikenal
pragmatis dan moderat, tiba-tiba terlihat "memihak" dalam politik
global, setidaknya dari kacamata Washington.
Di Balik Kegagalan Negosiasi
Jika dilihat secara kritis, kegagalan diplomasi Indonesia
tidak hanya disebabkan oleh tekanan dari pihak luar, tetapi juga oleh kelemahan
internal dalam membaca perubahan dinamika global. Strategi diplomasi yang
cenderung pasif dan reaktif menjadikan Indonesia tampak bingung dalam mengambil
posisi. Tidak adanya pendekatan yang terkoordinasi antara Kementerian
Perdagangan, Kementerian Luar Negeri, dan pelaku industri domestik membuat
pesan yang dibawa dalam negosiasi terkesan lemah dan tidak terarah.
Negosiasi dengan AS seharusnya tidak hanya menjadi urusan
teknis soal tarif, tetapi juga mencerminkan nilai strategis hubungan bilateral.
Sayangnya, pemerintah terlihat terlalu optimistis bahwa pendekatan “soft
diplomacy” akan membuahkan hasil, tanpa menyadari bahwa AS di bawah Trump (dan
bahkan pasca-Trump) cenderung menjalankan kebijakan luar negeri yang
transaksional dan mengutamakan kepentingan domestik.
Sebaliknya, Indonesia kurang aktif membangun aliansi
strategis yang bisa memberikan daya tawar lebih besar. Misalnya, ketika Vietnam
dan Meksiko dengan cepat merespons perang dagang AS–Tiongkok dengan memperkuat
hubungan bilateral dan regional (seperti melalui CPTPP atau perjanjian
bilateral), Indonesia justru masih berkutat dalam wacana dan perdebatan
internal yang tak kunjung usai.
Posisi Indonesia dalam BRICS: Untung atau Buntung?
Bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS tentu bukan keputusan
sembarangan. Di atas kertas, kelompok ini menjanjikan kekuatan ekonomi kolektif
yang bisa menjadi penyeimbang dominasi negara-negara maju seperti AS dan Uni
Eropa. Namun, realitas politik dan ekonomi global tidak selalu sejalan dengan
harapan.
AS melihat BRICS bukan sekadar aliansi ekonomi, melainkan
sebagai proyek geopolitik yang berpotensi mengganggu tatanan global liberal
yang selama ini mereka dominasi. Oleh karena itu, negara-negara yang secara
terbuka mendukung BRICS, terutama bila dinilai ikut menyuarakan kritik terhadap
kebijakan AS, bisa dianggap sebagai "tidak bersahabat" dan dikenai
tindakan balasan, salah satunya berupa tarif atau hambatan perdagangan.
Dalam konteks ini, Indonesia harus benar-benar berhitung.
Apakah manfaat jangka panjang dari BRICS sebanding dengan kerugian jangka
pendek yang ditimbulkan dari penurunan akses pasar di AS? Apakah diplomasi
Indonesia cukup cerdas untuk memainkan peran sebagai penyeimbang, alih-alih
terlihat berpihak mutlak kepada salah satu blok?
Dampak Ekonomi Riil di Dalam Negeri
Tarif yang tinggi langsung menyentuh jantung perekonomian
domestik. Sektor ekspor kita, yang menjadi tulang punggung pertumbuhan dan
penyerapan tenaga kerja, kini berada dalam tekanan berat. Industri tekstil yang
sebelumnya menggeliat di Jawa Barat, misalnya, mulai menunjukkan tren penurunan
ekspor secara signifikan. Banyak UMKM binaan eksportir besar pun mulai
kehilangan order dari luar negeri.
Tidak hanya itu, investor asing yang semula melihat Indonesia
sebagai pasar menjanjikan mulai menahan diri. Ketidakpastian dalam arah
kebijakan luar negeri, ditambah dengan keraguan akan kemampuan pemerintah dalam
menyelesaikan konflik dagang, membuat Indonesia kehilangan daya tarik sebagai
hub produksi regional.
Jika tidak segera ditangani, kondisi ini bisa menjadi krisis
ekonomi menengah yang berlarut-larut. Dan sayangnya, narasi “Indonesia tangguh
menghadapi tekanan global” tidak cukup untuk menenangkan pelaku usaha yang
setiap hari harus berhadapan dengan realitas pasar.
Apa Jalan Keluarnya?
Pertama-tama, Indonesia harus memperkuat koordinasi internal
antara seluruh pemangku kebijakan ekonomi dan diplomasi. Diplomasi perdagangan
tidak bisa dipisahkan dari strategi ekonomi nasional. Harus ada satu suara,
satu strategi, dan satu arah yang jelas.
Kedua, pendekatan negosiasi harus lebih cerdas dan adaptif.
Indonesia perlu membangun kembali hubungan strategis dengan AS melalui
jalur-jalur diplomasi multilateral, seperti ASEAN, G20, dan WTO, sekaligus
menjajaki kembali kemungkinan perjanjian dagang bilateral yang menguntungkan.
Ketiga, pemerintah perlu memperkuat industri dalam negeri
agar lebih tangguh menghadapi guncangan eksternal. Diversifikasi pasar ekspor
ke Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan harus dipercepat, sementara reformasi
di sektor logistik, kepabeanan, dan insentif fiskal diperkuat agar daya saing
produk Indonesia tetap tinggi.
Terakhir, posisi Indonesia dalam BRICS harus dievaluasi
secara berkala dengan pendekatan yang realistis. Aliansi ini bisa menjadi
peluang besar, tetapi juga risiko yang tidak kecil. Diplomasi cerdas adalah
kemampuan untuk menjaga hubungan baik dengan semua pihak tanpa kehilangan
prinsip dan kepentingan nasional.
Penutup: Membangun Diplomasi yang Tangguh
Kegagalan Indonesia dalam menurunkan tarif dagang dari AS
adalah sinyal keras bahwa dunia telah berubah. Hubungan internasional kini
lebih keras, lebih kompetitif, dan tidak mengenal belas kasihan bagi mereka
yang tidak siap. Indonesia harus belajar dari kegagalan ini dan membangun ulang
diplomasi ekonominya dengan pendekatan yang lebih strategis, progresif, dan
realistis.
Masa depan ekonomi nasional tidak bisa diserahkan semata pada pasar bebas atau slogan politik. Ia harus dibangun dengan kerja keras, visi jangka panjang, dan diplomasi yang tangguh.
0 Response to "Kegagalan Diplomasi Perdagangan: Ancaman Tarif dan Posisi Indonesia di Mata Dunia"
Post a Comment