Perang panas Israel-Iran telah memasuki
hari keenam dengan jumlah korban di kedua belah yang tidak sedikit. Di sisi
Iran, tidak kurang dari 224 warga Iran termasuk komandan militer, ilmuwan
nuklir, dan warga sipil Iran tewas akibat serangan udara Israel. Sementara di
sisi Israel, sebanyak 24 warga Israel tewas kibat serangan misil balistik dan
rudal Iran. Di tengah menegangnya perang antara Iran-Israel, di luar dugaan,
Amerika Serikat yang menjadi sekutu dekat Israel mencoba menengahi. Namun, pada
praktiknya, malah cenderung memprovokasi dan berpihak pada Israel. Presiden AS
Donald Trump secara terbuka mendesak Iran untuk menyerah tanpa syarat dan
menyatakan dengan gamblang bahwa AS sedang memikirkan apakah akan ikut terlibat
bersama Israel menyerang Iran.
![]() |
Sumber: Reuteers. |
Mereka (AS dan Israel) merasa
berkuasa atas dunia dan berhak memaksakan kehendak mereka agar Iran tidak
melakukan pengayaan uranium yang memungkinkan Iran memiliki senjata nuklir. Mereka
tidak ingin rezim pemerintahan Iran saat ini memiliki senjata nuklir. Hanya
Amerika dan proksinya yang berhak memiliki senjata nuklir. Merespon desakan AS,
tentu pemimpin tinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei tidak gentar. Dengan lantang,
Khamenei menyatakan Iran tidak akan pernah menyerah pada paksaan, ia balik menentang AS bahwa segala campur
tangan militer AS akan menuai kehancuran. Kondisi ini sungguh sangat mengkhawatirkan,
jika AS benar-benar ikut terlibat dalam perang brutal Iran-Israel, maka besar
kemungkinan perang Iran-Israel akan bereskalasi menjadi perang kawasan yang
menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Proksi Iran seperti Lebanon, Rusia, China,
Turki, kemungkinan tidak akan tinggal diam.
Ketegangan pun meluas, dengan
Hizbullah di Lebanon telah meluncurkan serangan roket ke wilayah utara Israel
sebagai bentuk solidaritas terhadap Iran. Di Suriah, milisi Syiah yang didukung
Iran mulai menggencarkan serangan ke basis militer AS dan Israel. Rusia, meski
belum secara terbuka berpihak, menyatakan keprihatinan atas dominasi sepihak
Barat dan mengimbau agar semua pihak menghentikan eskalasi. China pun turut
angkat suara, mengecam keras intervensi Amerika dan menegaskan pentingnya
menjaga stabilitas kawasan Timur Tengah demi kelangsungan suplai energi global.
Di dalam negeri masing-masing,
situasi semakin tidak stabil. Di Israel, masyarakat mulai mempersoalkan
keputusan pemerintah yang terlalu agresif, sementara di Iran, gelombang
solidaritas rakyat terhadap pemerintah meningkat drastis, melihat tekanan internasional
yang semakin kuat. Di sisi lain, berbagai negara di Eropa menyerukan gencatan
senjata dan pembukaan jalur diplomatik, namun upaya ini sejauh ini tidak
digubris baik oleh Iran maupun Israel.
Organisasi internasional seperti
PBB dan Liga Arab hanya mampu mengeluarkan pernyataan kecaman dan keprihatinan
tanpa tindak lanjut nyata. Dewan Keamanan PBB bahkan terpecah dalam menyikapi
konflik ini karena veto dari negara-negara besar. Dunia seolah menahan napas
menanti apakah krisis ini akan mengarah pada perang dunia baru atau akan ada
jalan diplomasi yang bisa menyelamatkan situasi.
Jika tidak ada intervensi
diplomatik serius dalam waktu dekat, maka perang ini tak hanya akan menjadi
konflik regional antara dua negara, tapi bisa menyulut api peperangan global.
Ketegangan yang mengendap selama puluhan tahun tampaknya mencapai titik didih,
dan umat manusia kini berada di ambang salah satu bab tergelap dalam sejarah
peradaban modern.
Perang terbuka antara Israel dan
Iran tidak bisa dipahami semata sebagai konflik dua negara, melainkan sebagai
panggung besar dari pertarungan geopolitik global antara blok Barat dan blok
Timur. Di satu sisi, Israel didukung penuh oleh Amerika Serikat dan sekutunya
di Eropa, dengan segala kekuatan militer, intelijen, dan diplomatiknya. Di sisi
lain, Iran didukung oleh aliansi informal yang mencakup Hizbullah di Lebanon,
milisi Syiah di Suriah dan Irak, serta dukungan strategis dari Rusia dan China.
Pecahnya perang panas ini
menandai kegagalan total upaya de-eskalasi yang selama ini dilakukan melalui
perjanjian nuklir seperti JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), yang
telah ditinggalkan sepihak oleh AS sejak 2018. Iran merasa dikhianati, dan kini,
ketika ia mengembangkan teknologi nuklirnya secara mandiri, justru dihadapkan
pada ultimatum dan serangan militer.
Jika perang ini terus berlanjut,
kawasan Timur Tengah akan kembali menjadi medan konfrontasi kekuatan global.
Rusia melihat konflik ini sebagai kesempatan emas untuk memperluas pengaruhnya,
terutama setelah terisolasi akibat perang Ukraina. Sementara China, dengan
kepentingan energi yang besar di Teluk Persia, tentu tidak akan diam jika jalur
minyak dari Iran dan sekitarnya terganggu.
Selain itu, Turki yang memiliki
kepentingan regional dan ambisi neo-Ottomanisme kemungkinan besar akan
memainkan peran ambigu—kadang pro-Barat, kadang mendekati Iran—demi menjaga
keseimbangan kekuatan dan pengaruhnya sendiri di kawasan. Arab Saudi, yang selama
ini berseteru dengan Iran, justru kini berada dalam posisi sulit. Meskipun
mereka secara diam-diam menyambut lemahnya Iran, namun mereka juga tidak
menginginkan kekacauan besar yang bisa merembet ke seluruh jazirah Arab.
Kondisi ini menjadikan perang
Iran-Israel bukan hanya konflik ideologis atau religius, tetapi sebuah proxy
war besar antara negara-negara besar dunia dengan taruhan ekonomi dan
politik global yang sangat tinggi.
Di balik dentuman rudal, serangan
udara, dan adu kekuatan militer, ada penderitaan yang sangat nyata dan
memilukan: korban sipil. Ribuan warga sipil di Teheran, Natanz, Tel Aviv,
hingga Haifa terpaksa meninggalkan rumah mereka dalam kondisi panik, kekurangan
air, makanan, dan tempat berlindung. Rumah sakit di kedua negara mulai
kewalahan menangani gelombang korban luka. Obat-obatan, listrik, bahkan
ambulans mulai langka.
Gambaran tentang anak-anak yang
kehilangan orang tua, keluarga yang tertimbun reruntuhan bangunan, dan warga
sipil yang terjebak di tengah medan pertempuran hanya menjadi data statistik
bagi para pemimpin negara yang sedang memamerkan kekuatan. Di Iran, wilayah-wilayah
sipil yang dekat dengan fasilitas nuklir menjadi sasaran empuk serangan udara
Israel. Sebaliknya, di Israel, serangan rudal balistik Iran menyasar area
permukiman sebagai bentuk pembalasan.
Lembaga-lembaga kemanusiaan
seperti Palang Merah, UNHCR, dan WHO menghadapi tantangan luar biasa untuk
menyalurkan bantuan. Akses ke zona konflik sangat terbatas, dan banyak relawan
yang menjadi korban atau disandera oleh kelompok bersenjata. Blokade udara dan
darat, baik oleh Iran maupun Israel, memperparah situasi.
Lebih jauh, konflik ini menambah
penderitaan panjang masyarakat Timur Tengah yang telah lama menjadi korban dari
ketidakstabilan geopolitik global. Mereka menjadi pion dalam permainan catur
raksasa kekuasaan. Generasi muda yang seharusnya tumbuh dalam damai,
pendidikan, dan kesejahteraan, justru besar dalam trauma, rasa benci, dan
dendam yang diwariskan dari perang ke perang.
Perang brutal Israel-Iran harus menjadi peringatan keras bagi komunitas internasional bahwa dunia tidak bisa lagi hanya bereaksi setelah kehancuran terjadi. Diperlukan langkah konkret, netral, dan segera dari kekuatan dunia yang masih berpikir waras untuk memediasi, menengahi, dan menciptakan kembali ruang diplomasi yang bermartabat. Sebab jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa perang ini bukan hanya soal Iran dan Israel, bukan hanya tentang rudal dan nuklir, tetapi tentang matinya kemanusiaan karena diamnya dunia.
0 Response to "Catatan Enam Hari Perang Israel-Iran 2025"
Post a Comment