Terjadinya perang dagang internasional yang dipicu oleh
pengumuman tarif impor kepada 180 lebih negara di dunia oleh Presiden Amerika
Serikat Donald Trump pada 2 April 2025—pada akhirnya hanya menyisakan rivalitas
dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China. Hal ini karena dari sekian banyak
negara yang terdampak tarif, hanya China yang teguh menyatakan sikap tidak akan
tunduk dengan ancaman tarif AS. China bahkan berani membalas serangan tarif
impor yang ditetapkan AS dengan serangan tarif yang tak kalah tinggi.
Sebagai contoh, saat AS menaikkan tarif impor barang dari
China sebesar 145 persen, negeri China membalas AS dengan tarif sebesar 125
persen untuk barang impor dari AS yang akan memasuki pasar China. Bahkan lebih
dari itu, China dengan lantang bersuara bahwa negeri Tirai Bambu tersebut akan
berjuang hingga titik akhir untuk menentang segala bentuk proteksionisme dagang
AS yang dimotori oleh Donald Trump. Belakangan mulai terkuak fakta, ternyata
diam-diam AS mencoba mendekati China untuk membuka pembicaraan terkait solusi
perang tarif.
Hal ini terjadi karena AS di bawah kepemimpinan Donald Trump 2.0
kini sedang berada di ambang resesi ekonomi akibat kebijakan serampangan Trump.
Hal ini dapat dilihat dari indikator ekonomi AS seperti produk domestik bruto (PDB)
AS yang terkontraksi ke angka 0,3 persen pada kuartal 1 tahun 2025. Padahal
pemberlakuan tarif resiprokal ditunda hingga 9 Juli 2025.
Trump mulai merasakan akibat buruk dari kebijakan yang
diambilnya. Produk teknologi AS seperti Boeing misalnya, beberapa waktu lalu
mulai tidak dianggap China. Secara eksplisit, China menolak produk Boeing
dengan membatalkan pesanan pesawat asal AS tersebut imbas dari tarif 145 persen
yang dijatuhkan AS kepada China. Bahkan di internal AS, perlawanan terhadap
kebijakan tarif resiprokal Trump masif terjadi, desakan untuk menghentikan
kebijakan tersebut benar-benar menekan Trump.
Kebijakan penundaan pemberlakuan tarif resiprokal oleh Trump
hinggga bulan Juli 2025 membuktikan bahwa Trump mulai goyah dan berpikir ulang.
Ia berharap dengan adanya jeda pemberlakuan tarif, negara-negara yang ingin
selamat dari pemberlakuan tarif Trump satu per satu mendatangi AS untuk
merundingkan soal tarif. Namun tidak dengan China. China menjadi satu-satunya
negara yang terdampak tarif resiprokal Trump yang tidak mau mendekati AS hanya untuk
menurunkan atau melongggarkan tarif impor yang seenaknya itu. China malah tidak
mau ambil pusing dengan AS. Bagi China masa bodoh soal tarif, ekonomi mereka
tetap akan tumbuh signifikan terlepas dari ada atau tidaknya perang tarif AS.
Sebagai negara yang menjadi korban paling parah dari
pemberlakuan tarif resiprokal Trump, China ternyata tidak terpancing dengan
manuver AS yang mulai membuka diri dan membujuk China untuk melakukan negosiasi
tarif. Merespon langkah AS yang mulai mendekati China, Otoritas China
menegaskan bahwa mereka hanya akan berdialog jika perundingan tarif dagang dilakukan
secara adil, saling menghormati, dan mencabut semua tarif yang merugikan China.
Hal ini terjadi karena China sadar bahwa mereka memiliki kekuatan ekonomi
politik militer yang hampir setara dengan AS sehingga tidak ada alasan bagi
China untuk tunduk pada AS yang telah mengacaukan tatanan ekonomi dunia melalui
kebijakan sepihaknya.
Kini hanya tersisa China negara yang tidak dapat didikte AS.
Bagi penulis, sikap China ini keren, China perkasa, patut ditiru dengan syarat,
negara yang ingin seperti China harus memiiliki kemandirian dan kemajuan
ekonomi ekonomi politik seperti China. Jika tidak mampu sepadan dengan China,
maka sudah dapat ditebak negara tersebut akan ketergantungan dengan AS dan AS
dengan mudah dapat melakukan dikte ekonomi politik yang mereka kehendaki.
Contoh konkretnya Indonesia.
Untuk mendapatkan keringanan tarif dari AS yang mengenakan
tarif dagang sebesar 32 persen untuk produk-produk impor dari Indonesia,
pemerintah Indonesia berjuang mati-matian melakukan negosiasi tarif dengan AS.
Para pejabat teras Indonesia mendatangi pemerintah AS untuk merundingkan tarif,
dan ujungnya Indonesia diminta untuk melakukan perubahan kebijakan ekonomi
domestik yang dianggap memberatkan AS. Sebut saja, kebijakan penggunaan sistem
pembayaran QRIS dikeluhkan AS karena mereka merasa kartu VISA dan Master Card
akan tersaingi dengan QRIS, kebijakan penggunaan tingkat penggunaan komponen
dalam negeri juga dikeluhkan AS karena dianggap tidak fleksibel dan menyulitkan
perusahaan AS yang berinvestasi di Indonesia. Sertifikasi halal juga dikomplain
AS yang dianggap ribet dan berbelit.
Ujungnya, jika tidak hati-hati dan memiliki keteguhan sikap sebagai negara berdaulat, Indonesia akan mudah tunduk mengikuti tekanan AS. Namun, hal seperti ini tidak berlaku bagi China. Negeri pimpinan Xi Jinping itu tidak bisa dengan mudah dipengaruhi apalagi didikte AS. Sekali lagi karena ekonomi politik China sangat kuat. Mereka sudah berdikari dan bahkan diprediksi dalam waktu dekat akan benar-benar menyalip kejayaan AS.
0 Response to "Perang Dagang AS dan Keperkasaan China"
Post a Comment