Memahami Perceraian Pilihan Politik Jokowi dari PDI-P dan Dampaknya | Paradigma Bintang

Memahami Perceraian Pilihan Politik Jokowi dari PDI-P dan Dampaknya

Dinamika politik hukum di Indonesia beberapa waktu terakhir menunjukkan fenomena yang tidak biasa. Dimulai dari keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang sangat problematik dan kemudian menjadi tiket bagi majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai bacawapres pendamping Prabowo Subianto hingga merenggangnya hubungan Jokowi dan PDI-P yang dipicu oleh pilihan politik Jokowi yang lebih mendukung Prabowo untuk berduet dengan Gibran, anak kandungnya daripada mendukung pasangan Ganjar-Mahfud yang resmi diusung PDI-P.

Memahami Cerai Pilihan Politik Jokowi dari PDI-P dan Dampaknya
Sumber gambar: setkab.goid

Ke mana arah dukungan politik Jokowi pada Pilpres 2024 dapat dilihat dari pernyataan dan sikap politik Jokowi yang secara terang-terangan menyatakan dirinya sebagai orang tua merestui pilihan politik Gibran yang bersedia maju menjadi bacawapres pendamping Prabowo. Belum lagi dengan sikap relawan dan partai politik pendukung garis keras Jokowi seperti Projo, Jokowi Mania yang bertransformasi menjadi Prabowo Mania, Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Garuuda, Prima, terakhir PSI di mana ketua umumnya Kaesang Pangerap, anak kandung Jokowi, adik kandung Gibran semuanya menyatakan secara gamblang arah dukungan politik mereka kepada Prabowo-Gibran. Fenomena dukungan politik yang dilakukan relawan dan partai politik ini tentu tidak akan terjadi tanpa restu serta petunjuk Jokowi yang juga mendukung penuh Prabowo-Gibran.

Pilihan politik Jokowi yang merestui Prabowo-Gibran tak pelak membuat retak hubungan Jokowi-PDI-P, partai di mana Jokowi bernaung dan mendapatkan privilese luar biasa dalam perjalanan karier politiknya selama 18 tahun terakhir. Merenggangnya hubungan Jokowi-PPDI-P kini dapat dilihat dari bagaimana kecewanya para fungsionaris PDI-P, simpatisan, kader, dan pemilih PDI-P terhadap sikap politik Jokowi yang pada akhirnya memilih berseberangan dengan partai yang selama ini telah membesarkan dan memperjuangkan diri serta keluarganya secara tulus.

Satu persatu kader loyal PDI-P angkat bicara ihwal berubahnya sikap politik Jokowi yang dinilai meninggalkan PDI-P dan lebih memilih bersanding dengan mantan rival politiknya Prabowo. Perubahan sikap Jokowi menurut Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto dipicu oleh penolakan keras PDI-P atas usulan tiga periode jabatan presiden yang diajukan beberapa ketua umum partai politik pendukung pemerintahan Jokowi.

PDI-P menolak wacana 3 periode jabatan presiden karena PDI-P konsisten dengan konstitusi yang menetapkan bahwa jabatan presiden maksimal dua periode. Dari sinilah pangkal mula perubahan sikap politik Jokowi menurut Sekjen PDI-P. Selain itu, Jokowi selaku pemimpin koalisi pemerintahan memiliki rencana untuk membentuk koalisi besar berisikan partai-partai politik pendukung pemerintah dengan harapan capres-cawapres yang diajukan atas restu dan petunjuk Jokowi. Ternyata PDI-P tidak setuju dengan pembentukan koalisi  besar tersebut yang dibuktikan dengan dideklarasikannya Ganjar Pranowo sebagai kandidat bacapres dari PDI-P. Sikap PDI-P ini menyusul sikap politik Partai Nasdem yang jauh-jauh hari telah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai kandidat bacapresnya. Dengan demikian, ide koalisi besar gagal terbentuk. Partai koalisi pendukung pemerintah kemudian terpecah menjadi poros-poros baru.

Dengan telah terbentuknya dua poros politik yang akan bertarung dalam Pilpres 2024 lengkap dengan king maker yang menjadi konduktor politik masing-masing di mana poros PDI-P, PPP, Perindo, Hanura berada di bawah kendali Megawati Sukarnoputri dan poros Nasdem, PKB, PKS, Ummat berada di bawah kendali Surya Paloh, praktis tersisa kemungkinan hanya akan ada satu sampai dua poros lagi yang belum terbentuk, yaitu poros partai loyalis Jokowi (Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, Gelora, Prima, Garuda, PSI) yang pada akhirnya berbekal putusan kontroversial MK yang membolehkan warga negara belum berusia 40 tahun namun berpengalaman pernah atau sedang menjadi kepala daerah yang dipilih melalui pemilu, mereka lalu secara aklamasi mendeklarasikan pasangan Prabowo-Gibran dan mendaftarkan keduanya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jokowi memang tidak hadir secara fisik dalam deklarasi pasangan Prabowo-Gibran dan mengiringi proses pendaftaran mereka ke KPU. Namun, pernyataan Jokowi yang terang-terangan merestui pilihan politik Gibran menjadi pendamping Prabowo padahal baik Jokowi maupun Gibran statusnya masih sebagai kader PDI-P tentu akan membuat siapa pun bertanya-tanya, ada apa dengan Jokowi, Gibran, dan PDI-P?

Penulis tidak mau menjawab pertanyaan tersebut dengan asumsi melainkan dengan analisis. Hemat penulis, semua ini terjadi karena garis besarnya Jokowi sudah berbeda visi dengan PDI-P. Jokowi juga sudah jauh berubah dari sebelumnya yang selalu tegak lurus dengan garis kebijakan partai menjadi Jokowi yang kini tampak pragmatis, oportunis, lihai berpolitik dan tidak mau lagi didikte. Jika PDI-P memiliki Ganjar-Mahfud sebagai jagoan di Pilpres 2024, Jokowi memiliki Prabowo-Gibran. Mengapa Jokowi berubah? Dalam pandangan penulis, Jokowi berubah karena sudah merasa tidak nyaman dengan PDI-P, apalagi selama ini ia selalu disebut sebagai petugas partai yang memiliki konotasi kurang ideal terutama bagi eksternal PDI-P yang tidak memahami esensi dari frasa tersebut.

Jokowi juga tidak leluasa mengekspresikan sikap politiknya bersama PDI-P karena segala sesuatunya bergantung apa kata Ibu Ketua Umum. Jokowi mungkin belajar banyak, selama sembilan tahun memimpin pemerintahan, intervensi PDI-P melalui Megawati dalam penentuan siapa yang akan menduduki jabatan di suatu kementerian nyata terjadi dan hal itu mungkin membuat Jokowi trauma. Sebagai contoh, pada penyusunan Kabinet Indonesia Maju, sedianya Partai Demokrat ingin bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi, namun, karena tidak direstui Megawati hal tersebut tidak terjadi. Begitupun saat di periode pertama Jokowi terpilih sebagai presiden, ia awalnya ingin menunjuk Budiman Sujatmiko sebagai Menteri Desa dan Maruarar Sirrait sebagai Menkominfo, namun, karena terhalang tidak direstui Megawati keduanya gagal menjadi menteri di kabinet pemerintahan Jokowi. Singkatnya, bersama PDI-P Jokowi kurang merasa nyaman karena tidak sepenuhnya bebas dalam mewujudkan ide politiknya.

Pemandangan berbeda akan tampak terlihat Ketika Jokowi ada di tengah-tengah relawannya. Ia seperti leluasa mengekspresikan apa yang menjadi harapan dan unek-unek politiknya. Sangat kontras dengan ketika Jokowi ada di forum PDI-P, ia terkesan formal, menahan diri, dan seperti kurang leluasa. 

Lebih dari itu, Jokowi juga juga ingin penggantinya adalah sosok yang benar-benar ia percayai dan Jokowi tahu betul bahwa ia nyaman dengan sosok tersebut. Dan jawaban atas hal tersebut adalah Jokowi merasa nyaman dengan Prabowo. Empat tahun terakhir kebersamaan dengan Prabowo di kabinet sudah cukup bagi Jokowi memberikan penilaian bahwa sosok Prabowo adalah orang yang tepat untuk dipilih menjadi suksesor dirinya. Dan karena ia tidak mungkin maju lagi sebagai capres ataupun cawapres di Pilpres 2024, maka pengajuan Gibran sebagai cawapres pendamping baik yang dilakukan oleh Prabowo langsung dengan meminta Gibran menjadi cawapresnya ataupun melalui Projo yang juga menyodorkan nama Gibran menjadi cawapres Prabowo rupanya disambut baik oleh Jokowi yang ternyata juga didukung oleh keputusan MK yang mengabulkan uji materi Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang berujung pada suksesnya pasangan Prabowo-Gibran mendaftar sebagai bacapres-bacawapres di hari terakhir pendaftaran (25 Oktober 2023).

Semua telah terlanjur terjadi, dan penulis meyakini Jokowi menyadari betul dampak yang akan ditimbulkan dari setiap keputusan politik yang diambilnya. Merestui pencalonan Gibran sebagai bacawapres Prabowo adalah sebuah risiko besar bagi masa depan hubungan Jokowi dengan PDI-P. Hebatnya, Jokowi berani mengambil risiko tersebut. Ia tidak lagi peduli dengan apa kata orang ihwal pencawapresan Gibran. Ia tidak lagi khawatir hubungannya dengan PDI-P memburuk. Dan secara objektif, dilihat dari persepktif PDI-P,  keputusan Gibran bersedia menjadi bacawapres pendamping Prabowo saat menjadi kader aktif adalah sebuah pembangkangan terhadap partai, sementara sikap Jokowi yang merestui Gibran maju menjadi bacawapres Prabowo tentu juga dinilai sebagai hal yang menyakitkan bagi PDI-P. Lalu setelah merestui Gibran, apakah Jokowi akan bersikap netral dalam Pilpres 2024?

Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan secara verbal memang pernah menyatakan dirinya akan netral dalam Pilpres 2024, namun, sebagai seorang bapak, tentu ia menginginkan anak kandungnya menang. Orang tua mana yang tega melihat anaknya kalah, apalagi dalam konteks persaingan  elektoral tingkat nasional. Sehingga tidak mengejutkan, jika relawan-relawan garis keras Jokowi bertekad akan habis-habisan memenangkan Prabowo-Gibran. Secara lisan dan sebagai kepala negara, Jokowi memang netral, namun, selebihnya ia mesra dengan relawan-relawannya.

Mungkin Jokowi sudah berhitung, karier politiknya sudah berada di puncak tertinggi dan akan purna pada 20 Oktober 2024, setelah itu ia akan pensiun dan meninggalkan dunia politik. Maka mempersiapkan orang terdekatnya sedari dini menjadi the next Jokowi adalah satu-satunya pilihan yang bisa ia lakukan selagi ia masih memiliki pengaruh politik yang sangat diperhitungkan. Karena memajukan Gibran di Pilpres 2024 melalui  pintu PDI-P sudah tertutup dan masih terbuka dari partai-partai loyalis Jokowi lainnya dan bahkan sangat diinginkan oleh mereka, maka merestui Gibran maju bersama Prabowo melalui dukungan Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, PBB, Garuda, Gelora, Prima, PSI adalah suatu pilihan rasional bagi Jokowi guna mewujudkan harapan politiknya tersebut. Seperti yang pernah Jokowi sampaikan kepada publik, Ia tidak takut sikapnya merestui pencawapresan Gibran ini dinilai sebagai wujud dari ambisi politik dinasti karena baginya yang akan menentukan terpilih atau tidaknya Gibran itu rakyat bukan dirinya.

Sepanjang sejarah PDI-P mengikuti pilpres secara langsung, baru kali ini terjadi perpecahan di dalam internal PDI-P yang diakibatkan oleh sikap pembangkangan kader PDI-P dengan garis kebijakan partai dan lebih memilih bersekutu dengan kekuatan di luar PDI-P. Pilpres 2024 barangkali pilpres yang sangat menantang bagi PDI-P karena kekuatan politik mereka kini terpecah, sebagian kekuatan politik mereka sudah barang tentu akan mendukung Prabowo-Gibran dan sebagian lagi mendukung Ganjar-Mahfud. Akankah pasangan Ganjar-Mahfud memenangkan Pilpres 2024 mengungguli pasangan Prabowo-Gibran dan pasangan Anies-Muhaimin? Biar waktu yang menjawab!

0 Response to "Memahami Perceraian Pilihan Politik Jokowi dari PDI-P dan Dampaknya"

Post a Comment