Brexit dan Ancaman Disintegrasi Uni Eropa | Paradigma Bintang

Brexit dan Ancaman Disintegrasi Uni Eropa


Perhatian dunia Juni 2016 ini akan tertuju pada salah satu negara berpengaruh di benua Eropa,  Inggris akan menjadi pusat perhatian masyarakat dunia terkait dengan rencana referendum 23 Juni 2016 yang akan menentukan apakah tetap bersama Uni Eropa (UE) atau Keluar dari organisasi tersebut? Wacana Brexit belakangan cukup seksi diperbincangkan banyak kalangan, baik akademisi, praktisi, serta pihak-pihak yang menaruh minat pada bidang kajian Kawasan dan Hubungan Internasional mendiskusikan isu brexit. Mereka dibuat penasaran apakah brexit benar-benar terjadi atau malah anti klimaks? 

Brexit yang berarti singkatan dari British Exit  adalah istilah yang merujuk pada rencana besar sebagian kelompok anti mainstream di Inggris yang menginginkan Inggris tidak lagi bersama Uni Eropa. Kelompok pro brexit menginginkan Inggris independen dan tidak terikat dengan klausul Uni Eropa, munculnya brexit dilatarbelakangi oleh adanya kekecewaan sebagian kelompok di Inggris yang merasa semakin lama UE semakin mengusik independensi Inggris, dengan harus mematuhi segala regulasi UE. Setiap tahun harus membayar jutaan poundsterling, namun manfaat yang didapat tidak sebanding dengan yang diharapkan. Kekhawatiran akan membludaknya pengungsi dan kaum migran yang dianggap mengancam kedaulatan dan ekonomi negara. Kelompok yang merasa tidak puas dengan UE ini kemudian menggulirkan wacana brexit yang kemudian menjadi komoditas politik para politisi Inggris baik di parlemen maupun di pemerintahan. 

Menilik sejarah, Inggris sudah sekian lama (43 tahun) menjadi bagian dari UE semenjak bergabungnya per I Januari 1973, sebuah masa keanggotaan yang tidak sebentar, apalagi kalau mengingat perjuangan Inggris untuk diterima menjadi anggota UE yang tidak mudah. Mulai tertarik dan melamar menjadi Komunitas Ekonomi Eropa 1963 dan baru diterima tahun 1973 seiring dengan berakhirnya rezim Charles De Gaulle di Perancis yang dianggap sebagai penghambat Inggris waktu itu. Namun demikian, referendum masa depan Inggris di Uni Eropa akan tetap digelar sebagai wujud akomodasi terhadap suara warga Inggris yang tidak menginginkan Inggris terus berada di bawah kendali UE. Patut dinantikan akan seperti apa keputusan warga Inggris terkait masa depan negara mereka, tetap di UE atau keluar dari UE untuk kemudian menjadi entitas negara-bangsa yang tidak terkekang lagi oleh kebijakan-kebijakan UE?

Apapun pilihannya, brexit terjadi atau tidak, semuanya memiliki dampak ekonomi politik bagi Inggris sendiri, UE, dan dunia. Dari sisi ekonomi, jika brexit terjadi, dampak yang paling mungkin terjadi adalah: adanya perubahan signifikan pada sektor perdagangan, investasi asing, regulasi-liberalisasi, kebijakan industri-kompetisi, imigrasi, dan layanan finansial. Sebagai gambaran, Brexit belum terjadi saja pelemahan nilai tukar poundsterling beberapa waktu terakhir anjlok drastis, bahkan Wakil Menteri Pertama Irlandia Utara Martin McGuiness mengatakan penurunan nilai tukar poundsterling menyentuh angka terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Secara lebih konkret, dampak ekonomi yang akan tejadi sebagai akibat brexit adalah, bagi Inggris: Perbedaan peraturan akan meningkatkan ongkos perdagangan, hal  ini akan berdampak pada volume dan wewenang Inggris dalam rantai persediaan. Inggris  menjadi kurang menarik baik sebagai pintu gerbang  masuk ke eropa, sebagai sebuah dasar bagi pusat korporasi dan sebagai lokasi untuk investasi. Hal ini karena Inggris  masih dianggap kiblat ekonomi politik dunia, Inggris akan kehilangan pengaruh terhadap regulasi UE dan tidak memperoleh banyak kebebasan untuk mengatur UE secara independen. Inggris akan mendapatkan fleksibilitas terkait kebijakan industri dan kemungkinan juga bantuan negara, tapi kehilangan manfaat dari skala dan pengaruh dalam beberapa area. Imigrasi akan diperketat, merusak daya saing, khususnya London, tapi seberapa banyak bergantung pada model brexit. Inggris mempertahankan hal kompetitif yang kuat, namun besar kemungkinan Inggris kehilangan bisnisnya yang  menjadikannya lebih sulit untuk menyediakan layanan tertentu kepada pasar UE. Inggris memiliki sedikit pengaruh, partner prioritas yang lebih rendah dalam hal negosiasi  perdagangan dan mendapatinya lebih sulit untuk memecahkan sengketa perdagangan.

Sementara bagi UE, brexit juga akan berimplikasi signifikan pada terjadinya hal-hal seperti: Perusahaan akan merasa mahal untuk merelokasi investasi modal dari Inggris dan terdapat risiko kerugian bagi Inggris yang mencoba untuk memotong standar baku guna  menarik investasi asing langsung. Perimbangan dalam pembuatan kebijakan eropa berubah jauh dari liberalisasi menjadi proteksi dan menjadikan EU sulit untuk menghalangi minoritas melawan inisiatif ekonomi non liberal. Akan terdapat pelemahan kebijakan kompetisi di antara negara UE, kelonggaran kolaborasi dalam hal pendidikan dan riset serta berdampak pengadaan publik. Beberapa negara akan terpengaruhi dampak Brexit pada masalah jasa pengiriman uang (remittance) atau imigrasi yang dialihkan, sesuai dengan tingkatan pengaruh buruk politik yan besar dan tidak terketahui. Satu atau dua pusat finansial bisa beruntung, tapi sektor bisnis dan rumah tangga menderita akibat kehilangan likuiditas dan meningkatnya ongkos layanan finansial. UE akan menjadi partner dagang yang kurang menarik/atraktif tanpa Inggris dan UE akan kehilangan negara anggota yang meletakkan keberatan politiknya di belakang negosiasi.

Dari sisi politik, jika Brexit benar-benar terjadi, kemungkinan besar akan menimbulkan dampak menjalar bagi negara-negara UE lain. Republik Ceko dan Belanda menurut kabar kemungkinan besar akan mengikuti langkah Inggris jika brexit nyata terjadi. Mereka juga berencana mengadakan referendum. Bahkan sebuah jajak pendapat di Belanda memperlihatkan bahwa sebanyak 53 persen penduduk menginginkan adanya referendum keanggotaan Belanda di UE. 
    
Jika Ceko dan Belanda mengadakan referendum dan mengharuskan keluar dari Uni Eropa tentu akan semakin membuat keruh UE. Negara-negara UE lainnya besar kemungkinan akan menyusul, kalau ini yang terjadi, maka disintegrasi UE tinggal menunggu waktu saja.  Selain hal tersebut, Wacana Brexit kembali membuat Skotlandia, negara persemakmuran Inggris yang notabene pro Uni Eropa berniat mengajukan kembali referendum kemerdekaan setelah sebelumnya (18 September 2014) mereka pernah menggelar referendum yang menetapkan Skotlandia tetap bersama Inggris. 

Dalam praksis, Brexit memiliki dampak politik yang sangat serius utamanya terkait dengan keutuhan UE sebagai blok dan entitas ekonomi politik yang banyak meninspirasi lahirnya blok-blok kawasan seperti ASEAN Community, African Union, North American Free Trade Area (NAFTA), Mercosur, TPP, dan sebagainya. Hal ini tidak lain karena sampai saat ini Inggris masih dianggap sebagai negara senior dengan segudang pengaruh politik yang signifikan. Kala sudah begini, pertanyaannya sekarang adalah pilih brexit atau tidak?

 Moh. Zahirul Alim
Alumnus HI FISIP Unibraw Malang


  

0 Response to "Brexit dan Ancaman Disintegrasi Uni Eropa"

Post a Comment