Drama Pembebasan 10 ABK WNI | Paradigma Bintang

Drama Pembebasan 10 ABK WNI

Beberapa waktu terakhir, politik  luar negeri Indonesia disibukkan dengan upaya keras untuk membebaskan 10 warga negara Indonesia (WNI), pelaut dan anak buah kapal (ABK) kapal tunda Brahma 12 yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf faksi Al-Habsyi asal Filipina. Penyanderaan terhadap WNI oleh kelompok Abu Sayyaf ini menyedot perhatian banyak kalangan, tak terkecuali pemerintah dan kelompok masyarakat sipil  terkait.  Kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan (ransom) sebesar 50 juta peso atau kalau dikurskan ke rupiah sebesar Rp 14,3 miliar dengan tenggat waktu 31 Maret 2016. 

Kapal tunda Brahma 12 adalah kapal tongkang yang memuat batu bara dari perairan Kalimantan Selatan ke Batangas, Visayas, Filipina Tengah. Mereka mulai berlayar 15 Maret dan mulai disandera sejak Kamis (24/3/16) di perairan antara Sabah dan Kepulauan Sulu. Mendapatkan kabar penyanderaan, pihak Indonesia yang terdiri dari pemerintah dan perusahaan asal 10 ABK yang disandera bekerja keras melakukan langkah-langkah pembebasan. Dalam pada itu, terhitung dari tanggal 25 Maret Indonesia mulai bergerilaya melancarkan diplomasi guna memetakan masalah dan mengusahakan solusi terbaik. 

Cerita tentang penyanderaan  mulai menemui titik terang dengan terbacanya modus kejahatan Abu Sayyaf. Merujuk pada Toto Trihamtoro, seorang konsultan keamanan sebagaimana dilansir harian Kompas (1/5/16), menjelaskan bahwa kapal-kapal yang dibajak perompak Abu Sayyaf biasanya diganti identitas terlebih dahulu baru dijual. Namun begitu, dalam kasus kapal tunda Brahma, kapal tidak sempat dijual saat dibawa ke Languyan di utara Pulau Tawi-Tawi. Kapal hanya hanya diberi tanda  dengan nama “Al Habsyi Mesaya” di dalam kabin kapal. Dari pantauan terhadap jejak elektronik yang terpasang pada Brahma 12 memperlihatkan bahwa kapal diserang sekitar pukul 13.00, kemudian kecepatan kapal bertambah dari 5 knot menjadi 8-9 knot yang menandakan bahwa tongkang dan muatan sudah dilepas.   

Sesuai dengan kredo pemerintah seperti yang termaktub dalam Nawacita untuk melindungi keselamatan dan keamanan WNI yang terancam di luar negeri, pemerintah kemudian melakukan pertemuan intensif lintas lembaga dan sektor yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, sejumlah lembaga intelejien, khususnya Badan Intelijen Strategis TNI, dan pihak perusahaan. Mereka pun segera melakukan action nyata dengan menjalin komunikasi denga penyandera.  Mulanya, komunikasi dijalin dengan menggunakan handphone milik Kapten Tonsen (nakhoda kapal Peter Tonsen). Belakangan, pembajak menggunakan telepon miliknya. Dari situlah terlecak keberadaan Brahma 12 berada di sekitar Pulau Sulu atau Jolo di tenga-tengah gugusan Kepulauan Sulu yang membentang dari timur Sabah hingga pantai barat Mindanao, kota Zamboanga, Filipina Selatan. 

Dari pemetaan profil, Al Habsyi Mesaya diketahui menguasai wilayah Talipao yang berada di tengah-tengah Pulau Sulu hingga bagian timur Sulu yang tidak bertuan. Dan yang menarik adalah kebiasaan unik dalam faksi Abu Sayyaf, yaitu melelang korban ke sindikat lain. Namun demikian, dalam kasus Brahma 12, mereka tidak mendapat tawaran dari dari kelompok lain. Alasannya, ABK Brahma 12 adalah WNI yang bagi para penguasa lokal di Kepulauan Sulu, Indonesia dianggap berjasa dalam proses perdamaian di Filipina Selatan. 

Mengetahui kondisi penyandera yang seperti ini, pihak perusahaan intens melakukan komunikasi dengan mediator Al-Habsyi. Proses komunikasi ini dilangsungkan setiap sore sekitar pukul 15.00. Juru runding kemudian dibentuk dengan melibatkan berbagai lembaga di Indonesia. Dalam perkembangannya, tim mediator berhasil membentuk tim runding di Filipina dengan tiga lapis jaringan. Adapun orang kedua di jaringan pertama merupakan seorang personel militer asli Kepulauan Sulu yang mempunyai akses langsung dengan penyandera. 

Para mediator dengan perlahan membangun kepercayaan hingga pada ujungnya penghubung langsung yang memiliki julukan Agen Bravo bisa bertemu langsung dengan penyandera dan Sandra. Mereka bergerak di sekitar Kalingalan Caluang-Masjid Likubong dan Omar di pantai utara Sulu. Bukti sandera dalam keadaan hidup berhasil diperoleh pada Jumat (22/4/16). Bukti itu kemudian diberikan kepada Menteri Luar Negeri RI di Jakarta, (24/4/15), dan tim pun kemudian mendapat restu untuk bergerak membebaskan sandera.Menurut rencana, awalnya pembebasam sandera akan dilakukan pada Senin (25/4/16). Namun rencana itu tertunda akibat adanya pemenggalan sandera asal Kanada, John Ridsel, sehingga militer Filipina menggelar operasi tempur. Dalam kondisi seperti itu, membebaskan sandera tentu sulit dilakukan. 

Namun begitu, personel keamanan militer Filipina dan pemimpin sipil dengan sepenuh hati membantu dan menyiapkan safe house untuk tim yang sedang bertugas. Safe house dibentuk terpisah di Manila dan Zamboanga untuk menjamin kemanan tim asal Indonesia. 

Selain faktor di atas, faktor lain yang membuat proses pembebasan sandera berjalan alot dan runyam adalah ditutupnya jalur laut dan udara dari Sabah ke Kepulauan Sulu dan Zamboanga. Dalam keadaan yang begitu gawat tersebut, setelah melalui tahapan dan dinamika dramatis, perjuangan Indonesia untuk membawa pulang kesepuluh anak bangsanya berujung manis. 10 WNI ABK Brahma 12 yang menjadi sandera berhasil diselamatkan dan diterbangkan ke Indonesia. 

Hal ini tentu merupakan buah dari kerja keras banyak pihak, berkah dari diplomasi total yang dilancarkan Indonesia, semua menjadi eksekutor bagi terbebasnya sandera asal Indonesia dari cengkraman Perompak Abu Sayyaf, tidak hanya lembaga pemerintah melalui Kemlu RI, Badan Intelijen Strategis TNI, Polri, DPR RI, Pemerintah Filipina, namun juga ada lembaga seperti tim kemanusiaan Surya Paloh yang bersinergi dengan jaringan pendidikan Yayasan Sukma di Aceh, Media Group, organisasi dan perseorangan. Mereka berkolaborasi sempurna dengan otoritas Filipina. Dalam hubungan dan relasi antar negara, diplomasi vital dilakukan demi terwujudnya kepentingan nasional. Namun dalam konteks pembebasan sandera 10 WNI di Filipina ini, rasanya strategi diplomasi total ala Indonesia sudah sangat tepat dan terbukti ampuh membebaskan sandera dari ancaman kelompok perompak. 

Sebagai bahan referensi, merujuk pada Retno LP Marsdi, Menlu RI, sebagaimana tertuang dalam harian Kompas (1/5/16) menyampaikan bahwa diplomasi total yang dimaksud adalah menggukan pendekatan politik, pemerintahan, budaya, dan pendekatan lain yang tidak bisa dijelaskan kepada publik. “ Ini proses yang sangat rumit. Total diplomasi, kita buka semua kanal komunikasi, dan akhirnya bisa selesai. Yang penting, semua upaya dikendalikan satu orkestra,” ungkap Menlu wanita pertama ini.

0 Response to "Drama Pembebasan 10 ABK WNI"

Post a Comment