Menata Paradigma Bangsa | Paradigma Bintang

Menata Paradigma Bangsa

         Tulisan Capres PDI-P Joko Widodo di harian Kompas (10/5/14) dengan tajuk "Revolusi Mental" menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih lanjut. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang sudah lama mendambakan terwujudnya kehidupan yang adil, makmur, dan bermartabat.

Mentalitas Bangsa Kita
Mencermati apa yang terjadi belakangan, tidak salah jika kemudian mentalitas bangsa dipersepsikan sangat parah dan mengkhawatirkan. Agenda reformasi yang kita harapkan bisa menjadi terobosan dalam pembangunan bangsa rupanya masih jalan di tempat, pendidikan kita masih sebatas transfer pengetahuan (prosedural), belum mencapai taraf substansi pendidikan yang bisa menghasilkan output pendidikan yang berkarakter dan berdedikasi tinggi.
Terkuaknya kasus predator anak, bocornya soal UN, perilaku menyontek pelajar, tawuran antar pelajar/mahasiswa, massifnya pungutan liar pejabat birokrasi yang mulai terendus belakangan ini adalah fakta telanjang yang menegaskan betapa gagalnya internalisasi nilai-nilai pendidikan kita. Ini belum lagi kacau balaunya agenda penegakan hukum kita, praktek korupsi masih marak terjadi di sana sini, bahkan penulis berani memastikan, praktek korupsi kini sudah menyentuh semua lini pemerintahan. Mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah bahkan ke plosok-plosok desa, hampir semuanya sudah terjamah kanker ganas korupsi.
Penulis tinggal di daerah, dan sepanjang pengamatan penulis, praktek korupsi di daerah sangat luar biasa, tumbuh subur dan berkembang biak layaknya organisme kehidupan. Layanan publik yang semestinya gratis, dimintai bayaran. Anggaran proyek yang semestinya dihabiskan untuk keperluan sebagaimana tertuang dalam proposal justru dipotong sekian persen. Bantuan raskin yang semestinya dibagikan secara cuma-cuma kepada warga miskin yang berhak menerimanaya malah dijadikan komoditas dagang.
Penulis berkeyakinan hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain di belahan bumi Indonesia. Sudah tak terhitung berapa pejabat dan warga negara yang telah digiring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian ke meja hijau dan divonis bersalah serta dihukum sebagaimana mestinya. Inilah mentalitas banga kita, mau enak tanpa proses, mau kaya tanpa kerja keras, mau maju tanpa belajar. Merubah mentalitas seperti ini memang tidak bisa dilakukan dengan sekejap mata, cepat dan asal jadi. Namun, memerlukan proses, tekad, dan keberanian dari para pemimpin sebagai eksekutor pemerintahan.
Tertangkapnya Bupati Bogor, Ketua MK, beberapa oknum pejabat negara lainnya oleh KPK yang diduga menerima suap dan temuan Gubernur Jawa Tengah yang berhasil menangkap basah oknum pejabat dan pemberi suap saat melakukan sidak di jembatan  timbang beberapa waktu lalu seakan mempertegas fakta bahwa memang benar mentalitas bangsa kita dalam kondisi darurat. Karena itu perlu segera mendapat penanganan serius.

Saatnya Aksi  
Tulisan Jokowi kiranya menyadarkan kita betapa perbaikan bangsa diawali dengan perombakan mental (revolusi mental), dimulai dari skop terkecil diri sendiri sampai ke skop nasional. Pertanyaannya kemudian adalah: bagaimana revolusi mental ini bisa kita aplikasikan dalam praktek kehidupan berbangsa-bernegara? Secara garis besar, tulisan Capres PDI-P ini sudah menjelaskan pertanyaan di atas. Namun, guna lebih aplikatif, penulis mencoba melengkapi gagasan konstruktif Jokowi dengan ide-ide penulis. Hal ini seperti yang diharapkan Jokowi dalam tulisannya yang menginginkan adanya diskusi dua arah antara ia sebagai penulis dan khalayak umum sebagai pembaca. 
Menurut hemat penulis, revolusi mental bisa kita mulai dengan hal yang sangat sederhana namun sangat fundamental. Merubah pola pikir sempit dan pola pikir picik merupakan suatu keharusan, pola pikir kunci pertama terwujudnya revolusi mental di negeri ini. Pola pikir adalah kunci mendasar kemajuan suatu bangsa, bangsa kita masih tertinggal jauh di belakang bangsa-bangsa lain sebabnya tidak lain karena pola pikir bangsa kita yang jumud, dan tak kunjung segera bertransformasi. Harus diakui, dalam berbagai bidang kita tertinggal dengan bangsa lain. Kita bisa mengejar ketertinggalan dengan syarat kita mau merombak mentalitas kita yang selalu puas sebagai penikmat dan penonton menjadi bangsa yang bermental juara, pengabdi dan kreatif.
Mentalitas seperti ini bisa kita realisasikan dalam berbagai sektor kehidupan bangsa. Di bidang politik misalnya, anak bangsa yang ingin bertarung dalam politik harus berjiwa pengabdi dan melayani. Tidak melakukan cara-cara kotor seperti politik uang, kampanye hitam, melainkan politik bersih, politik gagasan bagaimana membangun bangsa menjadi maju. Pun demikian dengan warga masyarakat harus memiliki mental juara, alias tidak mudah masuk angin dan tergoda politik uang. Pengalaman Pemilu Legislatif  9 April 2014 lalu yang menyisakan banyak kasus politik uang mencerminkan mentalitas politik kita masih jauh dari harapan. Dan menyongsong Pemilu Presiden 9 Juli mendatang penulis mengharapkan kejadian serupa tidak terulang lagi.
Di bidang ekonomi, mentalitas bangsa kita yang lebih menyukai produk impor ketimbang produk dalam negeri harus diganti dengan mentalitas dan spirit kreatif-produktif. Kita harus bangga dengan produk bangsa sendiri, karena itu pemerintah harus berpikir keras bagaimana menciptakan produk dalam negeri yang berdaya saing. Demikian pula masyarakat harus bepikir bagaimana mereka dengan kreativitas dan produktivitasnya bisa memberikan kontribusi positif bagi perekonomian negara.
Di bidang sosial budaya, terpaan arus globalisasi jangan membuat nilai-nilai bangsa terseret arus. Karena itu, mentalitas sebagai bangsa yang berkepribadiaan harus senantiasa dipelihara. Caranya, tolak nilai-nilai globalisasi yang merusak moral bangsa, serta mari menjadi bangsa pemenang dengan bangga mengamalkan nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki.
Di bidang pendidikan, ketulusan mengajar, ketelusan mendidik, ketulusan belajar adalah syarat mutlak terciptanya SDM Indonesia yang berkualitas baik lahir maupun bathin. Jika mental pengabdi sudah dimiliki masing-masing pendidik dan mental juara sudah tertanam dalam jiwa masing-masing murid, penulis berkeyakinan tidak akan ada lagi kasus pelecehan seksual, kasus kebocoran soal Unas, kasus kekerasan pelajar dan keterbelakangan prestasi anak bangsa.
Di bidang hukum, mental pengabdi dan juara akan membuat penegak hukum tidak akan pandang bulu dalam menyelidik, menyidik, menuntut, sampai memvonis kasus-kasus hukum. Hukum ditegakkan setegak-tegaknya demi menjamin terwujudnya keadilan, dan kesetaraan setiap warga negara di muka hukum. Siapapun yang bersalah harus dihukum seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan yang ada. Jangan ada lagi mafia hukum, mafia kasus, dan mafia perkara.
Di bidang birokrasi, kita harapkan para birokrat memiliki mental pengabdi bukan pemeras, sehingga kita harapkan kedepan tidak ada lagi pungli dan pemerasan kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan para abdi negara tersebut.
Penulis meyakini, bangsa ini masih memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaya saing. Kuncinya, mari kita miliki mental juara, pengabdi dan kreatif. Semoga!

Artikel ini ditulis Mei 2014. 

0 Response to "Menata Paradigma Bangsa"

Post a Comment