Membangun Kejayaan Maritim Indonesia | Paradigma Bintang

Membangun Kejayaan Maritim Indonesia

        Ada yang menarik pasca penetapan resmi Presiden-Wapres terpilih 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (22/7/14), adalah pidato kemenangan Jokowi-JK yang sangat tidak biasa. Mereka menyampaikan pidato politik yang sarat makna simbolik, di atas Kapal Pinishi yang berada di pelabuhan Sunda Kelapa, Jokowi-Presiden terpilih menyampaikan orasi kebangsaan yang cukup menggugah hati dan perasaan. Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia kembali bersatu, tidak hanya itu beliau juga menegaskan komitmennya untuk membangun Indonesia menjadi bangsa berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Sebagaimana pernah disampaikan dalam sesi debat Capres dan seperti makna yang tersirat dalam pidato kemenangannya, Jokowi bertekad menjadikan Indonesia sebagai bangsa maritim berkelas dunia. Mungkinkah?

Kondisi Riil
Secara geografis, Indonesia tergolong sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dengan belasan ribu pulau yang tersebar di seantero nusantara. Dua pertiga atau 75 persen wilayah Indonesia berupa perairan, artinya laut merupakan komposisi dominan dalam teritori Indonesia. Istimewanya lagi, Indonesia terletak di antara dua persimpangan samudra: Hindia dan Pasifik. Suatu posisi yang sangat strategis. Namun demikian, realitas yang tampak dalam kehidupan berbangsa-bernegara, Indonesia tidak mencerminkan sebagai negeri kepulauan yang sejatinya memberikan prioritas dan porsi perhatian lebih pada pembangunan sektor laut.
Selama beberapa dekade terakhir, Indonesia terlalu fokus pada pembangunan sektor darat, dan melupakan jati diri sebagai bangsa maritim. Harus diakui, dalam hal maritim kita sering kecolongan, kekayaan laut Indonesia setiap tahunnya dijarah para cukong laut yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya, potensi kerugian negara di sektor laut per tahunnya diperkirakan mencapai ratusan triliunan rupiah. Mengutip pernyataan Presiden terpilih Jokowi dalam acara World Ocean Day 11 Juni 2014, kerugian negara di sektor laut akibat pasar gelap dan illegal fishing ditaksir mencapai 300 triliun rupiah (merdeka.com). Sebuah nominal kerugian yang fantastis. Sementara secara geo strategis, negara kita juga nampak  kurang berdaya, kedaulatan teritori kita terlampau sering diusik oleh negara lain. Preseden Ambalat, klaim perairan Tanjung Berakit Kepri, klaim Tanjung Datu hanyalah secuil contoh terkait ketelodaran negeri maritim sebesar Indonesia.

Paradigma Pemimpin
Kebijakan negara tidak terlepas dari pemimpinnya; bagaimana pola pikir, sistem kepercayaan (belief system), dan visi kebangsaan yang dianutnya. Di antara tujuh Presiden Indonesia, Presiden Soekarno adalah Presiden Pertama yang meletakkan visi maritim Indonesia. Bahkan di era beliau, Angkatan Laut Indonesia cukup disegani dunia karena tergolong sebagai Angkatan Laut yang kuat dan militan. Bahkan Belanda sempat khawatir dengan kekuatan Angkatan Laut Indonesia. Pasca beliau lengser, Presiden penggantinya tidak lagi melanjutkan visi maritim yang digagas Presiden pendahulunya. Presiden Soeharto lebih mengutamakan pembangunan sektor darat, hal ini tidak mengejutkan-mengingat beliau adalah Jenderal Angkatan Darat yang banyak terlibat pertempuran darat.
Pasca reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto, empat Presiden produk Reformasi; BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, tak satupun diantara mereka yang berani menegaskan komitmennya untuk membangun kejayaan maritim Indonesia. Kenyataan tersebut tidak juga mengejutkan, karena pola pikir, sistem kepercayaan (belief system), dan visi kebangsaan yang dianut empat Presiden di atas sedari awal terpilih sebagai Presiden memang tidak menjadikan sektor maritim sebagai prioritas pembangunan.
Terlepas dari segala hambatan dan persoalan yang dihadapi mereka, faktanya pembangunan maritim di era empat Presiden tersebut tidak maksimal. Bahkan ironisnya, ada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati berstatus terpidana akibat kasus korupsi yang menjeratnya. Fakta ini harusnya menyadarkan kita semua bahwa mau bagaimanapun, masa depan Indonesia bergantung pada Paradigma pemimpinnya. Karena itu, keinginan politik (political will) seorang Presiden untuk memberdayakan sektor maritim mutlak diperlukan bangsa Indonesia. Bukan hanya sekedar keinginan yang diekspresikan lewat basa-basi kata dan visi tertulis, namun harus dibarengi dengan kerja keras yang nyata.
Meninggalkan empat Presiden produk awal Reformasi, momentum Pilpres 2014 melahirkan harapan baru, Presiden terpilih Joko Widodo menyalakan bara semangat kebangsaan kita menuju terciptanya kejayaan maritim Indonesia. Komitmen kuat Jokowi baik secara tertulis seperti yang tertuang dalam visi misinya, maupun secara verbal sebagaimana berulangkali beliau ungkapkan adalah Paradigma yang mencerahkan dari seorang pemimpin baru Indonesia. Untuk menjadi bangsa besar yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian memang tidak ada pilihan lain bagi Indonesia kecuali kembali kepada jati diri bangsa yang hakiki. Bukankah jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan, Kerajaan Sriwijaya yang berbasis di Sumatera dan Majapahit yang berbasis di Jawa dikenal sebagai kerajaan maritim yang tangguh, mampu memberikan kesejahteraan dan kemajuan bagi rakyatnya. Inilah memori kolektif yang harus kita hidupkan kembali, tidak saja diceritakan ataupun sekedar dijadikan bahan pelajaran sejarah, namun lebih dari itu, nilai-nilai positifnya harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bertindak Nyata
Ketika Paradigma sudah benar, saatnya action, action dan action. Inilah wujud dari filosofi berpikir besar dan bertindak besar, pertanyaannya sekarang adalah darimana harus memulai? Hemat penulis, dimulai dari yang paling mendasar dan terdekat; artinya pembangunan maritim Indonesia harus melibatkan semua elemen bangsa, pemerintah sebagai regulator harus berada di barisan terdepan, wujudnya adalah kebijakan yang pro pembangunan maritim. Dari hulu pemerintahan sampai ke hilir harus berkomitmen mendukung penuh pembangunan maritim Indonesia. Anggaran  pembangunan pelabuhan-pelabuhan baru, pemberian bantuan kapal bagi nelayan, pembangunan pasar-pasar pelelangan ikan, pembangunan kapasitas keterampilan nelayan, penguatan armada laut, pemberian bantuan modal nelayan harus benar-benar dikucurkan, diawasi, dan pihak terkait harus dimintai pertanggungjawaban. Hal ini penting untuk menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas.
Hal penting lain yang tidak boleh diabaikan dalam kaitannya dengan pembangunan sektor maritim Indonesia adalah sumber daya manusia. Saat ini di kampus-kampus negeri dan swasta memang ada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, namun minat dan animo anak bangsa untuk mempelajari ilmu yang berkenaan dengan maritim bisa dibilang minim, rumpun kemaritiman kalah seksi dengan bidang-bidang lain semisal Kedokteran, Hukum, Ekonomi, Teknik dan sebagainya. Karena itu, perlu adanya insentif  bagi Sarjana Ilmu Perikanan dan Kelautan, bahwa keberadaan mereka sangat dibutuhkan dalam pembangunan maritim Indonesia. Pemerintah harus memberdayakan mereka, jangan biarkan mereka menganggur, rekrut dan jadikan mereka agen-agen pembangunan maritim. Kalau perlu dirikan perguruan tinggi khusus ilmu kelautan sebagaimana yang dilakukan China, setiap anak bangsa harus diyakinkan bahwa identitas Indonesia adalah bangsa maritim, bukankah slogan “nenek moyang kita dahulu  pelaut tangguh” memang benar adanya? Sungguh  Indonesia memiliki kekayaan maritim yang luar biasa, dan oleh karena itu putra-putri bangsa harus tergerak dan terpanggil untuk mengolahnya. Inilah  momentum emas untuk membangun kejayaan maritim Indonesia, menjadikan Indonesia bangsa maritim yang disegani dunia.

Artikel ini ditulis Juli 2014

0 Response to "Membangun Kejayaan Maritim Indonesia"

Post a Comment