Balada Qurban 2015 | Paradigma Bintang

Balada Qurban 2015

Idul Adha 1436 H yang jatuh pada hari Kamis, 24 September 2015 ini menghadirkan cerita yang berbeda. Setidaknya, bagi diri saya lebaran qurban tahun ini terasa beda. Tahun lalu ketika takbir dan shalat Idul Adha berlangsung saya masih di jalan/bus, tahun ini saya hampir saja tidak mengikuti shalat Idul Adha berjemaah. Penyebabnya cukup sepele, ternyata persepsi saya tentang waktu yang menjadi faktornya. Ketika diperingatkan salah satu kawan untuk segera mandi dan siap-siap berangkat shalat, saya menganggap waktu shalat masih lama, perkiraan sekitar pukul 07.00 WIB sebagaimana waktu shalat di kampung halaman. Saya pun agak santai. Benar saja dugaan saya meleset, pukul 06.20 WIB kita mulai berangkat mencari lokasi pelaksanaan ibadah shalat Idul Adha.

PRIVATE DOCUMENT/ZAHIR ALFATIH
Sesampai di jalan, kita mendapati banyak orang yang kebingungan mencari lokasi shalat, bahkan bertanya pada kita apakah masih ada lokasi yang belum melaksanakan shalat? kita terus saja mencari lokasi yang kita  anggap nyaman untuk kita tempati shalat. Dari beberapa lokasi yang kita singgahi, ternyata semuanya sudah melaksanakan ibadah shalat bahkan sudah masuk sesi penyampaian khutbah. Hingga pada akhirnya, kita mendapati suatu titik lokasi pelaksanaan shalat Idul Adha yang ketika itu sudah memasuki rakaat terakhir, spesifiknya sudah takhiyyat akhir.

Spontan saja saya berlari mencari ruang kosong untuk mengejar shalat idul adha, tanpa sia-sia saya-pun menjadi makmum masbuq yang harus melengkapi dua rakaat shalat dengan tujuh takbir di rakaat pertama dan lima takbir di rakaat kedua. Sehabis salam, saya pun menyimak khutbah idul adha, dari semua yang disampaikan saya tertarik pada bagian khutbah yang mengatakan bahwa merujuk pada Imam Al-Ghazali : Dunia adalah bangkai. Suatu ungkapan yang mengandung makna begitu mendalam, bahwa memang dunia tidak ada artinya jika dibandingkan dengan akhirat. Lalu mengapa banyak orang yang tergila-gila dengan kesenangan dunia yang serba menipu dan penuh dengan kepalsuan ini? Bukankah hakikat dunia adalah bangkai yang tidak bernilai? Lantas mengapa kita enggan berkurban dan lebih mencintai harta dunia yang fana itu? Inilah renungan khutbah yang disampaikan oleh sang khatib.

Setelah rangkaian ibadah shalat Idul Adha usai, saya segera kembali ke rumah bersama, di sana saya mendapati kedua kawan saya yang sudah terlebih dahulu sampai. Pagi itu, saya berinisiatif jalan-jalan sekaligus membeli bahan minuman macam nutrisari ke tetangga sebelah. Selang beberapa langkah berjalan dan sampai di depan rumah tetangga, tanpa disangka saya langsung disapa tetangga dan dipersilahkan masuk ke rumahnya untuk mencoba masakan kupat tahu yang sudah dimasak. Dengan sedikit malu-malu saya nikmati saja masakan kupat tahu tersebut. Sambil melahap habis, saya sesekali bercengkrama dengan tuan rumah. Sampai pada suatu waktu, saya pamit kepada tuan rumah untuk kembali ke basecamp.

Kejutan ternyata tidak berhenti sampai disitu, ketika kita sedang bincang-bincang ada tetangga yang datang menanyakan apakah kita masak? saya jawab saja, belum. Lalu  tetangga yang kemudian diketahui bernama Ibu Rini itu mempersilahkan kita makan di rumahnya. Kita-pun agak canggung untuk segera ke rumahnya. Memperlambat tempo adalah yang bisa kita lakukan, di luar dugaan ternyata ibu Rini menyuruh kedua anaknya untuk mengantarkan hidangan komplit berisi nasi, sayur kangkung, opor ayam, rengginang, buah melon, dan Kukis Mochachino. Setelah menerima paket hidangan tetangga tersebut kita putuskan untuk bersilaturrahmi ke rumah Mami, sebutan untuk seorang guru PAUD yang akrab dengan kita. Disana kita disuguhi makanan, di rumah Mami cukup lama juga. Dirasa cukup kita pamit pulang, sampai di rumah kita gunakan waktu untuk istirahat dan santai.

Hingga tiba sore, seorang kawan datang dengan seplastik daging kurban yang dibawanya dengan sumringah. Tanpa ragu-ragu kita putuskan untuk menjadikannya sate. Dengan kerjasama yang baik, mulai dari proses memotong, menusukkan daging ke tusuk sate, membakarnya di atas tungku berbahan bata merah dan arang akhirnya sate daging kurban berhasil dibakar. Meskipun ada beberapa yang gosong, setidaknya sate karya kita layak untuk dinikmati bersama. Beginilah cerita Idul Adha tahun ini, bagaimana dengan tahun depan? Kita lihat saja nanti.

0 Response to "Balada Qurban 2015"

Post a Comment