Perang Thailand-Kamboja dan Resolusinya | Paradigma Bintang

Perang Thailand-Kamboja dan Resolusinya

Konflik terbuka antara Thailand dan Kamboja yang pecah mulai 24 Juli 2025 kembali mengguncang fondasi stabilitas Asia Tenggara. Selama ini, kawasan ini sering dipersepsikan sebagai wilayah yang relatif aman dari konflik bersenjata besar antarnegara. Namun, preden ini menegaskan bahwa stabilitas tersebut ternyata rapuh. Dalam ungkapan Amitav Acharya (2001: 5), Asia Tenggara bahkan pernah dijuluki sebagai "Balkan dari Timur"—sebuah peringatan akan potensi konflik laten yang terus mengintai di balik permukaan damai kawasan ini.

Perang ini bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ia merupakan kelanjutan dari ketegangan panjang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Sejak awal 2025, ketegangan antara Thailand dan Kamboja mulai meningkat kembali. Pada Mei 2025, keduanya sempat terlibat bentrokan bersenjata yang menewaskan satu anggota militer Kamboja. Namun konflik terbaru ini berkembang menjadi jauh lebih destruktif dan mematikan.

Perang Thailand-Kamboja dan Resolusinya
Sumber: Reuters

Dalam eskalasi terbaru, Thailand menuduh Kamboja telah melakukan provokasi di wilayah perbatasan. Sebagai balasan, Thailand mengerahkan sejumlah jet tempur F-16 untuk melakukan serangan udara ke wilayah Kamboja. Tak tinggal diam, Kamboja merespons dengan meluncurkan serangan roket ke beberapa titik strategis di wilayah Thailand. Pertukaran serangan ini menewaskan sedikitnya 33 orang, terdiri dari 8 warga sipil dan 5 personel militer di pihak Kamboja, serta 14 warga sipil dan 6 anggota militer di pihak Thailand.

Angka korban jiwa kali ini melampaui jumlah yang tercatat pada konflik besar sebelumnya antara kedua negara, yakni pada tahun 2008 dan 2011 yang mencapai 28 orang. Selain korban jiwa, perang ini juga menimbulkan dampak kemanusiaan yang luas. Berdasarkan laporan The Jakarta Post (27 Juli 2025), lebih dari 138.000 orang harus dievakuasi dari kawasan perbatasan Thailand. Sementara itu, sekitar 35.000 warga Kamboja dilaporkan terpaksa meninggalkan rumah mereka demi menyelamatkan diri dari pertempuran.

Konflik ini kembali membuka luka lama dalam hubungan Thailand dan Kamboja yang kerap diwarnai sengketa perbatasan, terutama di sekitar kawasan Kuil Preah Vihear—sebuah situs bersejarah yang menjadi simbol sekaligus sumber sengketa nasionalisme di kedua negara. Di sisi lain, absennya mekanisme penyelesaian konflik regional yang efektif di bawah payung ASEAN membuat eskalasi perang semacam ini menjadi sulit diredam sehingga menimbulkan korban dan ketegangan yang mengkhawatirkan.

Geopolitik yang Memanas dan Ketidaksiapan ASEAN

Konflik ini menunjukkan bahwa rivalitas geopolitik dan ketegangan historis masih menjadi bahan bakar utama konflik di Asia Tenggara. Secara geografis, posisi strategis Thailand dan Kamboja yang berbatasan langsung menjadikan setiap sengketa wilayah berkembang cepat menjadi krisis militer. Ditambah lagi, nasionalisme sempit dan retorika politik domestik sering kali dimanfaatkan untuk memperkuat legitimasi rezim yang sedang berkuasa, terutama ketika tekanan ekonomi dan sosial tengah memuncak.

ASEAN sebagai organisasi regional belum menunjukkan ketegasan dalam menyikapi konflik ini. Prinsip non-intervensi dan konsensus yang menjadi ciri khas ASEAN justru menjadi penghalang ketika krisis menuntut respons cepat. Hingga kini, belum ada pernyataan sikap bersama yang jelas, apalagi inisiatif mediasi konkret dari Sekretariat ASEAN di Jakarta.

Peran Negara Besar: Diam atau Memihak?

Di balik konflik ini, peran negara-negara besar juga patut dicermati. Tiongkok, misalnya, memiliki kepentingan strategis yang besar di Kamboja, baik dalam bentuk investasi ekonomi maupun dukungan militer. Kamboja selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Beijing di kawasan. Sementara itu, Thailand memiliki hubungan pertahanan yang kuat dengan Amerika Serikat sebagai mitra non-NATO. Ketegangan antara dua negara ini bisa membuka ruang bagi intervensi atau dukungan tidak langsung dari kekuatan global tersebut.

Jika konflik ini terus berlanjut dan menarik keterlibatan kekuatan eksternal, Asia Tenggara bukan hanya akan menghadapi krisis kemanusiaan, tetapi juga risiko menjadi ajang proxy war yang memperumit situasi kawasan. Hal ini tentu akan menjadi ancaman langsung bagi stabilitas jangka panjang dan cita-cita Komunitas ASEAN yang terintegrasi dan damai.

Jalan Menuju Perdamaian: Diplomasi atau Kehancuran

Konflik Thailand-Kamboja 2025 harus dijadikan momentum untuk memperkuat kerangka kerja diplomasi dan keamanan regional. ASEAN perlu bergerak cepat membentuk mekanisme penanganan krisis yang lebih efektif—bukan hanya sebagai forum diskusi, tetapi sebagai aktor aktif perdamaian.

Langkah konkret seperti pengiriman tim mediasi, pembentukan zona demiliterisasi sementara, dan pelibatan pihak ketiga netral seperti Indonesia atau Malaysia yang saat ini menjabat sebagai Ketua ASEAN 2025 dapat menjadi opsi awal. Di saat yang sama, komunitas internasional seperti PBB juga didorong untuk ikut serta mendorong gencatan senjata dan memfasilitasi perundingan damai.

Jika tidak ada langkah diplomatik segera dan nyata, konflik ini bisa menjalar lebih luas, melibatkan kepentingan kekuatan regional hingga global, dan mengancam masa depan integrasi Asia Tenggara itu sendiri. Asia Tenggara tak boleh lengah: sejarah telah menunjukkan bahwa perang kecil bisa berujung pada tragedi besar.

0 Response to "Perang Thailand-Kamboja dan Resolusinya"

Post a Comment