Literasi Dasar Kaum Ibu | Paradigma Bintang

Literasi Dasar Kaum Ibu

"Ibu adalah sekolah pertama" merupakan kutipan yang sering kita dengar dalam keseharian hidup. Namun, sejauh mana kita memahami semboyan tersebut? Saya sepenuhnya setuju dengan frasa di atas, bahwa berawal dari seorang ibu lah manusia berproses, di dalam rahim ibu seorang manusia mulai diproses sampai lahir. Tumbuh dan kembang manusia pun berada di tangan seorang ibu. Kualitas akan seperti apa manusia bisa dibilang berada di tangan seorang ibu. Jika ibunya baik, berkualitas, melek literasi, paham kebutuhan yang menunjang kemajuan anaknya maka besar kemungkinan sang anak akan berkualitas pula. Namun, bagaimana jika memang kondisi seorang ibu jauh dari kata ideal, kurang memahami literasi misalnya, di sinilah peran orang yang paham untuk memberikan pemahaman kepada ibu yang bersangkutan.

Literasi Dasar Kaum Ibu

Saya bersyukur pernah ditakdirkan berbagi pemahaman dengan ibu-ibu di perbatasan negeri yang anak-anaknya pernah saya didik langsung selama setahun. Bersama guru-guru sekolah saya mengkreasi forum sekolah-orangtua untuk berbagi dengan para wali murid.  Berbagi dengan mereka menghadirkan kepuasan tersendiri, karena hanya dengan cara begitu idealisme, unek-unek, pemahaman saya tentang praktik edukasi terapan, bagaimana seharusnya mendidik yang sebelumnya hanya menempel di langit-langit kepala bisa keluar dan mengucur deras untuk dibagikan kepada para ibu tersebut. Di antara mereka ada yang bisa baca tulis, ada juga yang belum bisa. Di antara mereka ada juga yang bisa berbahasa Indonesia, namun ada pula yang hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa kampung.

Apapun itu, saya sampaikan pemahaman saya dengan bahasa keseharian mereka, sehingga bisa dipastikan mereka bisa menangkap apa yang saya maksud. Hal pokok yang saya bagikan adalah pentingnya jujur mengenali anak sendiri, hal ini saya lakukan dengan simulasi meminta para ibu yang hadir untuk menuliskan kelebihan dan kekurangan anak yang mereka miliki sebanyak mungkin. Bagaimana dengan ibu-ibu yang tidak bisa menulis? Ada rekan guru yang mendampingi, yang siap membantu. Ternyata ada yang khawatir keburukan anaknya ketahuan, takut terjadi apa-apa dengan anaknya karena mengira kertas tulisan mereka harus dikumpulkan untuk saya periksa, padahal tidak. Saya hanya ingin melatih kejujuran mereka, sejauh mana jujur dengan diri sendiri. Karena setelah itu, saya alihkan hasil tulisan mereka menjadi game yang menarik. Saya meminta perwakilan dari setiap barisan tempat duduk satu orang ibu untuk menyampaikan apa yang telah ditulis terkait kelebihan dan kekurangan anaknya.


Game pun mulai saya mainkan, hasilnya semua ibu yang menjadi perwakilan membacakan apa yang telah ditulis, dan  didapat kesimpulan bahwa kelebihan anak yang mereka tulis lebih banyak dari kekurangan anak. Sebelum game dimulai saya mengasumsikan bahwa para ibu yang ditunjuk sebagai perwakilan akan menuliskan kekurangan anak melampaui kelebihan yang dimiliki anak. Ternyata asumsi saya tidak terbukti, dan apresiasi khusus saya berikan kepada para ibu yang hadir karena telah percaya bahwa potensi yang dimiliki anaknya melebihi kekurangan yang dimiliki anak. Pada kesempatan itu, saya juga mencoba berbagi pemahaman terkait makna dasar pendidikan. Bahwa pendidikan jendela perubahan, bahwa pendidikan adalah paspor menuju masa depan. Saya yang saat itu membawa paspor memfungsikan paspor tersebut sebagai alat bantu agar mereka menangkap apa yang saya maksud.

Saya sampaikan dengan memberikan contoh sederhana seperti kalimat pertanyaan, "Jika ibu-ibu mau pergi ke Malaysia atau Singapura tapi ibu-ibu tidak membawa paspor, apakah mungkin bisa masuk ke Singapura atau Malaysia? Mereka dengan serentak menjawab, "Tidak mungkin bisa". Saya kembali menjelaskan, bahwa sama dengan bepergian ke Malaysia dan Singapura yang harus berpaspor, maka untuk menuju masa depan paspornya adalah pendidikan. Sekalipun pendidikan bukan satu-satunya cara, namun fakta empiris membuktikan begitu banyak nasib manusia yang berubah berkat pendidikan. Begitu banyak manusia yang berhasil pergi menemui mimpinya dengan paspor pendidikan. Inilah makna hakiki dari semboyan pendidikan adalah paspor masa depan. Dengan pendidikan manusia bisa membuka dunia, bisa berkreasi, dan melakukan hal-hal yang sebelumnya mungkin tidak pernah terpikir menjadi sesuatu yang nyata bisa dilakukan. Dalam kaitannya dengan pendidikan, saya juga sekalian menyampaikan bahwa penting bagi orangtua mengetahui semenjak dini potensi dan kelebihan anak. Untuk itu, saya perkenalkan kepada mereka delapan jenis kecerdasan yang lazim dimiliki manusia.

Saya kenalkan para ibu itu ihwal kecerdasan naturalis, kecerdasan kinestetik, kecerdasan kata/bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan spasial, kecerdasan matematis logis, kecerdasan intrapersonal. Hal ini penting agar mereka tahu bahwa setiap anak yang lahir memiliki kelebihannya masing-masing. Bahwa dengan bakat dan kecerdasan itulah manusia bisa hidup. Harapannya adalah para orangtua bisa mengenal, mengarahkan dan mendukung tumbuh kembang anaknya sesuai dengan bakat dan minatnya. Nah, untuk mendukung proses pendidikan di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat saya juga menyampaikan pentingnya orangtua untuk menerapkan disiplin positif. Bahwa tidak mungkin suatu cita-cita besar dan kesuksesan bisa diraih tanpa adanya disiplin yang terpolakan. Dari mana dimulai? Jawabannya, dari lingkungan terdekat (rumah). Saya sampaikan bahwa anak yang sudah terbiasa disiplin dari rumah, maka ia akan terbiasa untuk disiplin di mana pun. Jika di rumah anak sudah terbiasa belajar, terbisa membaca, terbiasa hidup rapi, terbiasa disiplin waktu, maka saat di sekolah anak akan mudah diatur, mudah beradaptasi dan sebagainya. Namun tidak mudah mendisiplinkan anak, untuk itu orangtua harus menjadi role model dan teladan terbaik bagi anaknya. Orangtua yang disiplin akan dengan mudah mengajak anaknya disiplin. Terkait hal ini pribahasa, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari" sangat amat relevan .

Dan tak lupa juga saya sampaikan dalam kesempatan langka itu ihwal pentingnya ibu-ibu kampung mengenal perpustakaan, kebetulan saat itu perpustakaan di desa kami tinggal baru saja berdiri. Jadi sekalian saja saya perkenalkan apa itu perpustakaan sekaligus mengajak mereka untuk berkunjung dan menikmati buku-buku bacaan di dalamnya. Hal ini penting untuk mengedukasi mereka bahwa kunci perubahan itu dimulai dari  semangat literasi, mau tidak untuk mengasah diri melek bacaan. Jika sebelumnya anak-anak  mereka yang saya didik untuk melek literasi, kali  ini giliran mereka, para orangtua yang saya edukasi untuk juga melek literasi. Dengan mengunjungi perpustakaan desa yang terbuka untuk umum, melahap buku-buku yang masih terbatas di dalamnya apalagi sambil mengajak anak-anak adalah suatu pemandangan hebat jika ide ini terwujud. Demikianlah fantasi saya ketika harus melakukan kampanye literasi di hadapan ibu-ibu itu. Saya meyakini untuk menyulap staus pulau terpencil dan tertinggal di bumi yang pernah saya diami itu hanya dengan literasi. Menyadarkan manusia penghuninya adalah keniscayaan agar peradaban nyata terwujud di pulau tersebut. Inilah literasi dasar yang sejatinya dimiliki oleh setiap kaum ibu, bahwa setiap ibu adalah sekolah, setiap ibu adalah guru. Tulisan ini ditulis berdasarkan pengalaman empiris hidup setahun di pulau perbatasan dengan segala keterbatasannya.

0 Response to "Literasi Dasar Kaum Ibu"

Post a Comment