Mengenal Wisata Lebah Madu | Paradigma Bintang

Mengenal Wisata Lebah Madu

Salah satu destinasi wisata berbasis perdesaan yang menarik untuk dikunjungi adalah wisata lebah madu, berlokasi di Desa Bajur Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan saya meluangkan waktu untuk sekedar mampir, bertemu peternak lebah, mengenang masa menjadi sarjana penggerak desa sekaligus mengorek informasi penting terkait potensi laten desa.

Wisata Lebah Madu
Inilah gapura pintu masuk ke wisata lebih madu Desa Bajur Waru
Jum`at (7/7/17) saya berkesempatan singgah ke lokasi wisata lebah madu setelah sebelumnya hanya melintas tanpa transit. Rasa penasaran yang membuncah benar-benar mengalahkan segalanya, sepulang dari tujuan utama di ibukota Kabupaten Pamekasan, tanpa ragu saya tunaikan hajat untuk berpetualang menyusuri lokasi wisata lebah madu yang termaksud. Berada di turunan menikung dari arah selatan Pakong, Pamekasan, gapura Selamat Datang di Kawasan Agro Sentana Wisata Desa Bajur Waru Produk Unggulan Lebah Madu terlihat di sebelah timur jalan raya trans Pamekasan. 

Dari pintu gerbang gapura pengunjung harus menempuh perjalanan sekitar dua kilometer menuju lokasi wisata lebah madu yang cukup penuh dengan tantangan jalan tak mulus, penuh batu kerikil dan jalan rusak. Ada tanjakan, ada turunan juga. Namun, suasana jauh dari bising serta hiruk pikuk suara jalanan, kondisi sekeliling penuh nuansa perkampungan yang khas dengan sejuta sawah, kebun, dan pepohonan. Harap maklum, nantinya selepas masuk gapura akan ada dua jalan persimpangan ke kanan dan ke kiri, pilih jalan yang ke kanan menurun, setelah itu lurus saja ke arah timur sampai dua kiloan meter. Nanti lokasi lebah madu ada di kiri jalan. Jika anda bingung atau tersesat, tidak ada salahnya bertanya kepada warga yang ada di situ, tanyakan di mana lokasi wisata lebah madu, pasti ditunjukkan bahkan mungkin diantar. 



Pengalaman kemarin, untuk sampai di TKP, saya pernah salah jalan dan berkali-kali harus bertanya kepada warga sekitar sampai pada akhirnya bertemu langsung walau tidak sengaja dengan peternak yang mengurus wisata lebah madu tersebut. Pertemuan tanpa settingan berlangsung di jalan raya desa, pas di depan lokasi lebah madu. Saat itu saya yang sedang diantar seorang warga sedang memperhatikan dari jalan wujud lokasi wisata lebah madu dan dari arah sebelah timur peternak bersangkutan datang mengendarai motor bersama anak kecilnya. Di tengah jalan itulah saya berbincang singkat ihwal wisata lebah madu yang ada di desa Bajur Timur, sesekali saya ingin menuju lokasi, tapi si peternak menjelaskan bahwa sangkar-sangkar lebah sedang kosong semua alias tidak ada isi lebahnya atau belum diisi. Menyadari hal tersebut, sang peternak lebah mengajak saya mampir ke rumahnya karena disana ada tiga sangkar lebah yang baru diisi. Saya pun mengikuti peternak lebah menuju rumahnya. 

Hanya lima menit berselang saya pun sampai di rumah peternak lebah, setelah duduk sebentar di kursi depan pekarangan rumahnya, sang peternak lebah yang tiba lebih awal langsung mengajak saya melihat sangkar lebah yang baru enam hari diisi. Saya pun bergegas mengikuti ke pekarangan belakang, tempat sangkar lebah berada. Sesampai di sana, sang peternak membuka salah satu sangkar, terlihatlah kerumunan lebah dengan bunyi khasnya yang membuat kita waswas, jadi mendekat tidak ya.


Dihantui rasa khawatir saya mencoba mendekat, melihat lebih dekat kerumunan lebah yang ada dalam sangkar. Sayangnya, tanpa saya sadari, saat saya hendak mengambil gambar dengan kamera pribadi, lebah-lebah mulai terusik sehingga menyerang kami. Saya pun diserang para lebah, tak kurang tiga sengatan lebah mendarat di telapak tangan kanan saya. Peternak lebah pun tak ketinggalan, mendapat serangan lebah di bagian dahi. Saya pun dengan refleks segera menjauh dan pak peternak segera menutup sarang lebah. Saya pun minta tolong sama pak peternak lebah untuk mencabut bisa lebah yang masih menancap di tangan kanan saya, dengan sigap peternak muda itu mencabuti bisa lebah dengan hati-hati. Sesekali ia bilang, bahwa lebah-lebah tadi menyerang karena saya banyak gerak. Saya manggut-manggut saja, sambil bilang bahwa itu di luar dugaan karena saya mengira lebah-lebah bisa jinak. 


Belajar dari pengalaman itu, peternak mencoba membuka lagi sangkar lebah yang kedua, kali ini saya tidak berani mendekat. Saya hanya mengamati dari kejauhan sambil mengambil gambar dengan teknik zoom, rasa trauma disengat lebah beberapa menit sebelumnya masih membekas benar di benak saya. Puas mengambil gambar saya bersama sang peternak kemudian kembali ke pekarangan rumah untuk melanjutkan bincang-bincang sambil menyeruput kopi hangat hidangan dari istri pak peternak. Di bawah rindangnya pohon, dikelilingi suasana persawahan yang terhampar luas, serta ditemani angin sepoi-sepoi siang itu saya bisa mendapatkan beberapa informasi penting tentang wisata lebah madu, pembangunan desa, dan kondisi riil peternak lebah yang kurang diberdayakan oleh otoritas terkait. 

Kita mulai dari wisata lebah madu, setelah saya gali informasi dari pelaku sekaligus penggagasnya dapatlah diketahui bahwa ternyata wisata lebah madu ini secara terkonsep baru berjalan satu tahun semenjak dipusatkan dalam satu lokasi khusus pada tahun 2016. Selain itu, secara de facto, aktivitas berternak madu yang dilakukan warga pada hakikatnya sudah turun temurun, ada sejak dahulu kala. Jadi, teknik serta ilmu beternak lebah mereka dapatkan dari para pedahulu serta juga dari alam sekitar. Saat saya tanyakan bagaimana cara untuk megisi sangkar yang kosong dengan lebah? Jawabannya, sang peternak harus berburu ratu lebah dulu ke hutan, memancingnya dalam sebuah sangkar khusus agar lebah-lebah yang lain juga ikut. 

Kegiatan ini membutuhkan waktu sekitar semingguan, baru setelah itu diangkut pulang untuk kemudian dimasukkan ke dalam sangkar khusus lebah guna diternak, diberi makan bunga-bunga alami seperti bunga mangga, jagung, dan sebagainya. Tujuannya, agar lebah-lebah tersebut bisa menghasilkan madu berkualitas super yang layak dijual dengan harga berapapun. Proses inkubasi lebah dalam sangkar membutuhkan waktu sekitar tiga bulanan untuk kemudian bisa menghasilkan lebah yang bisa dipanen. Dalam setahun, para peternak minimal dua kali panen dan maksimal tiga kali panen. Sebagai informasi, madu yang benar-benar asli (original) harga pasarannya per botol kecap sekitar Rp. 400.000,- (empat ratus ribu). Jadi jika anda mendapatkan di manapun ada seorang yang mempromosikan jual madu asli berkedok harga murah enam puluh ribu, tujuh puluh ribu, delapan puluh lima ribu, bisa dipastikan itu hoax alias dusta. Ingat! Madu yang 100 persen original bisa berfungsi sebagai penawar alias obat untuk segala macam penyakit sebagaimana tertuang dalam ajaran agama (silahkan perdalam sendiri khasiat madu menurut Islam).  

Uniknya, madu yang asli seperti dijelaskan oleh peternak lebah yang saya temui bisa tahan bertahun tahun, semakin lama semakin bagus katanya. Bahkan apabila disimpan dalam kulkas pendingin, kualitas madu tidak terpengaruh sedikitpun, utuh sesuai wujud semula, tidak rusak, tidak ikut dingin dan berubah kualitas. Sekali panen, satu sangkar bisa mendapatkan tiga botol madu asli. Untuk mengetahui berapa total botol madu yang akan dihasilkan dalam satu masa panen, tinggal dikalikan saja berapa sangkar yang diisi lebah. Estimasinya, jika ada 10 sangkar yang terisi lebah, maka bisa diprediksi sekali panen peternak mendapatkan 30 botol madu. Dengan begitu, beternak madu pada realitasnya memiliki potensi ekonomi yang cukup siginifikan, bahkan sang peternak lebah berseloroh bahwa hasil panen beternak madu keuntungannya lebih besar dari hasil bertani tembakau, jelasnya.  Sekedar informasi, harga satu botol madu asli bisa tembus angka satu juta rupiah jika stok hanya tinggal satu, dua, sementara orang sangat membutuhkannya. Di sini hukum ekonomi berlaku, semakin langka suatu barang, semakin mahal harganya. 

Pada momen itu saya juga menanyakan teknik pemasarannya bagaimana? Rupanya masih konvensional, dari mulut ke mulut. Belum secanggih sekarang yang sudah memanfaatkan teknologi digital untuk promosi produk. Saya bisa memaklumi. Namun begitu, madu asli mereka selalu sold out, alias habis terjual. Menurutnya, hampir setiap rumah petani memiliki sangkar lebah yang diternak untuk diambil madunya. Jadi, jika ada orang membutuhkan madu sementara persediaan di rumahnya habis maka biasanya ia tinggal menghubungi peternak lainnya untuk menanyakan apakah masih memiliki stok madu? 

Puas berbincang tentang  lebah saya menyempatkan diri berdiskusi tentang pembangunan di desa pak peternak tersebut. Dari bincang-bincang itu, saya bisa menyimpulkan bahwa anggaran desa sebagai amanat dari undang-undang desa yang sudah tiga tahun anggaran sudah berjalan kurang terserap dengan maksimal oleh pemangku kepentingan terkait. Menurut sang peternak, desa tempat ia tinggal tahun 2016 lalu menurut kabar yang ia terima mendapat kucuran dana desa sebesar 1,4 miliar rupiah. Saya tanyakan dibuat apa saja uang sebesar itu? Ia jawab, tidak tahu, malas yang mau ikut campur urusan desa karena tidak pernah dilibatkan dalam hal musyawarah pembangunan desa, kilahnya. Saya mencoba memberikan respon, saya katakan bahwa kalau memperhatikan jalan utama desa yang terlihat memprihatinkan, sangat janggal rasanya jika tiga tahun undang-undang desa berjalan dengan kucuran dana yang tidak sedikit kualitas infrastruktur jalan utama desa belum juga meningkat. Bukankah target tahun pertama dan kedua dari undang-undang desa adalah pembangunan masif infrastruktur penopang aktivitas perekonomian warga desa. 


Tiga tahun anggaran desa mengucur tapi beginilah kondisi jalan utama desa Bajur Waru. Rusak, cukup memprihatinkan, dan tidak mendapat prioritas pembangunan (Foto: dokumen pribadi)

Sebagai perbandingan, di desa yang dulu sempat saya bina, tahun pertama dan kedua dana desa mengucur infrastruktur jalan desa dikebut sehingga terlihat dengan jelas progres pembangunan desa yang berdampak positif pada perbaikan kualitas taraf ekonomi masyarakat. Ini sudah memasuki tahun ketiga, jalan utama desanya masih saja menyedihkan. Saya juga sempat bertanya, apakah di desa pak petani yang juga peternak lebah ini sudah memiliki badan usaha milik desa (BumDes)? Ia jawab, tidak ada. Saya hanya geleng-geleng, sambil menjelaskan bahwa sudah semestinya di tahun ketiga anggaran desa mengucur, setiap desa memiliki badan usaha yang diharapkan bisa mendatangkan dampak sosial ekonomi sehingga kesejahteraan warga bisa terbantu.  

Ketika saya tanya, apakah di desa peternak lebah tersebut ada bidan? Ia jawab ada, namun ruangan tempat bertugasnya sangat memprihatinkan alias tidak layak katanya. Lagi-lagi saya jelaskan bahwa amanat anggaran desa, beberapa tujuannya adalah untuk membangun desa secara menyeluruh, termasuk sektor kesehatan dengan memperhatikan posyandu, fasilitas kesehatan primer seperti pos kesehatan desa, polindes, klinik desa. Tak lupa saya sampaikan bahwa anggaran desa yang sampai ke rekening desa itu pada hakikatnya dapat diakses oleh siapapun warga desa termasuk petani, peternak, pemuda, dan sebagainya. Sangat disayangkan bahwa semangat undang-undang desa no 06 tahun 2014 yang bertujuan untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan, banyak kepala desa yang tidak memiliki komitmen untuk membelanjakan anggaran desa yang tidak sedikit itu untuk sesuatu maslahat yang bisa dirasakan bersama. 

Di tengah asyiknya perbincangan, saya tidak canggung juga bertanya, apakah selama ini ada perhatian dari dinas pemerintah terkait usaha dan wisata lebah madu yang telah digagas? Pertanyaan saya ini dijawab dengan lugas bahwa ternyata tidak ada sentuhan perhatian dari pemerintah terkait agrowisata lebah madu yang coba mereka bangun dengan swadaya. Jujur, dugaan awal saya, wisata lebah madu ini sudah mapan, terstruktur, dan terorganisir. Faktanya, mereka jalan di tempat, jauh dari jangkauan pemerintah. 

Saya sedikit bercerita, bahwa dua tahun sebelumnya (2014-2016) saya pernah bersama dengan petani penyuluh berprestasi tingkat provinsi Jawa Barat yang berhasil membangun kelompok tani di desa Tanjungkarya, Samarang Garut, tempat ia tinggal sehingga mendapat kepercayaan dari dinas pemerintah seperti dinas pertanian, perkebunan, dan tanaman pangan hortikultura. Setiap tahunnya, petani berprestasi tersebut beserta kelompok binaannya selalu mendapat program pemerintah baik berupa pembinaan peningkatan kapasitas ataupun bantuan pendanaan. Tidak saja itu, ia juga sering diminta dinas provinsi menjadi pengajar penyuluh bagi petani-petani di kabupaten lain di Jabar. Jadi, belajar dari hal itu, saya menyarankan kepada peternak lebah, bahwa jika ingin diperhatikan pemerintah, bangun soliditas internal dan komitmen kelompok peternak lebih dahulu, bangun kualitas produk, sesekali promosikan hasil produk kepada pejabat pemerintah sambil lalu ajukan proposal bantuan pembinaan dan pendanaan.  

Saya bilang bahwa jika sudah unggul, menonjol, dan berprestasi, kemungkinan besar pemerintah tidak akan tutup mata dan tinggal diam, insyaAllah dibantu agar lebih berdaya dan maju. Kopi darat saya harus saya akhiri dengan berpamitan kepada peternak lebah menjelang sore hari itu. Jalan-jalan saya kali ini membawa pulang segudang cerita dan hikmah bahwa setiap desa itu memiliki potensi yang harus digali, diberdayakan, dikembangkan, dan disyukuri. 

5 Responses to "Mengenal Wisata Lebah Madu "