Belajar dari Tragedi Alam Garut-Ponorogo | Paradigma Bintang

Belajar dari Tragedi Alam Garut-Ponorogo

Dewasa ini beberapa daerah Indonesia dilanda musibah bencana alam yang cukup masif: banjir   bandang, longsor, kebakaran hutan, pohon tumbang, cuaca ekstrem jamak terjadi dan menimpa siapapun tanpa pandang bulu. Setiap bencana yang terjadi pastilah membawa dampak destruktif yang tidak kecil. Jatuhnya korban jiwa, rusaknya bangunan infrastruktur-perumahan, hilangnya harta benda, dan sebagainya adalah konsekuensi riil saat alam tidak lagi mau bersahabat dengan kondisi sekitar. Fenomena mutakhir seperti bencana banjir bandang Garut 2016, longsor Ponorogo 2017 adalah bukti otentik bagaimana amukan alam benar-benar nyata adanya. Dalam tulisan ini penulis akan fokus menyoroti dua bencana di atas sebagai refleksi kritis penulis terhadap apa yang sudah berlalu, dengan harapan ada input solutif yang bisa penulis tawarkan guna mencegah terulangnya hal serupa di masa mendatang. 

Hikmah Musibah Garut-Ponorogo
Banjir bandang yang melanda enam kecamatan di Kabupaten Garut (Bayombong, Garut  Kota, Karangpawitan, Tarogong Kidul, Tarogong Kaler, Banyuresmi) 20 September 2016 ini mengakibatkan 34 orang meninggal, 19 orang hilang, 35 orang luka-luka, 6.351 orang mengungsi. 575 rumah rusak berat, 239 rumah rusak sedang, 970 rumah rusak ringan. Sebanyak 49 fasilitas pendidikan, 15 fasilitas peribadatan, 2 fasilitas kesehatan juga mengalami kerusakan (Data BNPB). Diawali dengan turunnya hujan yang begitu deras dan lama, musibah yang terjadi mendadak di malam hari ini tidak pernah diprediksi bakal datang tiba-tiba, besarnya air bah banjir sangat efektif menjebol tanggul sungai Cimanuk Garut, alhasil warga yang berumah di pinggiran sungai Cimanuk yang tengah terlelap tidur terseret arus banjir. Ada yang selamat, ada yang hilang, terseret derasnya banjir, adapula yang ditemukan, tewas mengenaskan sebagai korban keganasan banjir. Sepanjang sejarah, inilah banjir terparah yang pernah menimpa Garut. Musibah nahas ini berhasil menyita perhatian nasional, tak kurang presiden beserta jajaran menterinya datang berkunjung ke Garut, melihat kondisi Garut pasca bencana.

Ada yang menarik saat Presiden Jokowi meninjau area lokasi terdampak banjir bandang Garut, saat itu dalam pernyataan persnya, presiden meminta otoritas penegak hukum bertindak tegas mengusut penyebab terjadinya banjir bandang yang mengakibatkan kerugian materiil dan non materil yang cukup besar. Dalam hitungan matematis, kerugian materiil akibat banjir bandang Garut diperkirakan mencapai nominal Rp. 288 miliar (data Kompas.com). Dalam prakteknya, menurut  analisa dan kajian lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta temuan beberapa aktivis lingkungan menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya banjir bandang Garut adalah karena sektor hulu sungai kini beralih fungsi dari yang semestinya berfungsi sebagai hutan lindung menjadi lahan komersil yang abai dengan kelestarian lingkungan. 

Rusaknya ekologi lingkungan menjadi pemicu utama tragedi banjir bandang yang menggemparkan Garut. sekadar informasi, berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013, luasan lahan kritis di Jawa Barat mencapai 329 ribu ha. Sementara lahan kritis yang ada di daerah aliran sungai (DAS) strategis di Jawa Barat mencapai 137.417,52 ha. Adapun luasan lahan kritis di Cimanuk sendiri mencapai 38.180,80 ha. Usut punya usut, penyebab kerusakan lingkungan di hulu sungai Cimanuk yang memiliki luas mencapai 16.367,74 ha, adalah maraknya aktivitas pertanian, wisata alam, tambang dan geothermal. Selain itu, tidak signifikannya peran pemangku kehutanan seperti Perhutani dengan  program kerja Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dalam merevitalisasi kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang terdampak akibat pembukaan dan pengalihan fungsi lahan juga menjadi faktor yang berkontribusi pada rusaknya hulu Sungai Cimanuk. Tidaklah berlebihan kiranya jika Presiden memerintahkan untuk melakukan audit lingkungan dan menindak tegas pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab terkait rusaknya sektor hulu Sungai Cimanuk.

Penulis pernah dua tahun tinggal di Garut, hemat penulis analisa itu memang benar adanya.  Hutan lindung di Garut kini dalam ancaman, area hulu Sungai Cimanuk seperti di Kecamatan Cikajang yang sejatinya difungsikan menjadi daerah penyangga, penahan bumi dari derasnya debit air hujan yang seringkali turun tanpa disangka-sangka dalam waktu relatif lama secara riil kini banyak dijadikan sebagai lahan bisnis sebagaimana dipaparkan di atas. Pohon-pohon yang sejatinya merupakan paru-paru bumi, nafas utama kehidupan hutan berkurang drastis karena ditebang, digunduli dan dimusnahkan. Dampaknya, saat hujan turun area hutan yang mestinya bisa menjadi daerah resapan air tidak bisa menjalankan perannya dengan baik. Alhasil, saat curah hujan tinggi, debet air meluap tanpa ampun serta menerjang area-area hilir Garut yang padat pemukiman penduduk. 

Bencana alam yang tidak kalah mematikan rupanya berulang di tahun 2017, giliran Ponorogo yang mengalaminya. Bencana Longsor yang terjadi pada Sabtu (1/4) ini menimpa Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo. Bencana tersebut menimpa rumah 36 kepala keluarga (KK), mengakibatkan 28 orang hilang tertimbun tanah longsor, 4 orang ditemukan, 300 orang mengungsi dan sisanya tidak ditemukan. Mengingat medan pencarian yang berat serta adanya potensi longsor susulan maka aktivitas pencarian disepakati oleh semua pihak untuk dihentikan. 

Menilik bencana longsor Ponorogo, lagi-lagi penyebabnya adalah semrawutnya tata kelola kehutanan. Diakui oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang diperkuat dengan temuan dari otoritas petugas dari Pusat Vulkanologi, Mitigasi Bencana Geologi Nasional (PVMBG) bahwa di area lokasi longsor terjadi, di sana minim daerah resapan. Pohon-pohonnya minim, lereng-lereng bukit yang mestinya ditanami pohon berakar kuat disulap menjadi area perkebunan jahe yang jelas berakar lapuk. Bahkan, beberapa korban longsor meregang nyawa saat sedang asyik memanen jahe. Bencana alam tidak akan pernah memberi tahu kapan akan datang, namun tanda-tandanya bisa dirasakan oleh siapapun. Semakin bersahabat manusia dengan alam, semakin ramah pula alam dengan manusia. Sebaliknya, jika alam dibiarkan tidak terawat dan bahkan cendrung dirusak maka bencana hanya tinggal menunggu waktu saja. 

Apa yang terjadi di Garut dan Ponorogo adalah gambaran nyata bahwa alam bisa marah dan murka jika manusia tidak tahu diri. Belajar dari itu semua, saatnya kita interospeksi, bertanya kepada diri sendiri sudahkah kita ramah pada alam, peduli dengan lingkungan sekitar? Menyikapi hal ini, penulis memandang pentingnya pola keseimbangan dan aspek proporsionalitas dalam memperlakukan alam. Berperilaku proporsional, adil, peduli dengan alam sekitar menjadi keniscayaan untuk memastikan alam dan lingkungan tetap kondusif serta mau bersahabat dengan kita. Boleh saja kita memiliki obsesi mengejar profit dari setiap aktivitas ekonomi yang kita jalani, namun lebih dari itu, kita juga mesti mengkaji apakah yang kita lakukan lebih banyak efek positif atau negatifnya? Yang seringkali terjadi, manusia cendrung memikirkan kepuasan dirinya tanpa berpikir bagaimana dampak buruknya terhadap lingkungan sekitar. Untuk itu, menjaga alam benar-benar stabil mutlak harus kita lakukan: rajin menanam pohon, komitmen tidak menebang pohon, dan mengimbangi aktivitas ekonomi berisiko seperti perkebunan-persawahan di area resapan dengan menanam tumbuhan berakar kuat seperti pohon nangka, durian, dan sebagainya adalah sebuah keharusan untuk mencegah tragedi alam yang merusak tidak terus berulang. 

Lebih dari itu, komitmen utuh dan tindakan nyata pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas kelestarian alam-lingkungan tentu sangatlah diharapkan guna memastikan bahwa tidak ada lagi warga masyarakat yang mati sia-sia akibat dampak buruk dari  tata kelola alam yang semrawut. Jangan pernah ragu untuk menindak tegas siapapun yang melanggar, merusak alam untuk ambisi profit, dan berilah edukasi yang persuasif terhadap warga yang kurang beruntung, tinggal di lokasi yang riskan terdampak bencana untuk berperilaku bijak: ramah dengan alam serta bersahabat dengan lingkungan. Pemerintah saja rasanya memang tidak cukup, melibatkan pihak-pihak independen yang memiliki kepedulian terhadap hutan serta lingkungan akan semakin meringankan beban kita bersama dalam menjaga alam dari degradasi dan krisis.  Saatnya kita semua bersatu merawat alam sekitar!


Judul asli artikel di atas ‘Tragedi Alam Garut-Ponorogo, Dampak Nyata Degradasi Lingkungan’

Ditulis Mei 2017 sebagai syarat mendaftar sebagai Peneliti Muda World Resources Institute (WRI) Indonesia
 

0 Response to "Belajar dari Tragedi Alam Garut-Ponorogo"

Post a Comment