Jeritan Hati Pelaku Riba | Paradigma Bintang

Jeritan Hati Pelaku Riba

Tulisan ini bukan opini, bukan anggapan, bukan pula karangan. Dilatarbelakangi oleh cerita empiris beberapa anak manusia perihal pengalamannya bergelut dengan hal-hal ribawi, saya memutuskan untuk menuliskannya secara khusus. Ini penting untuk dibaca dan diketahui khalayak ramai, bahwa yang namanya syariat itu tidak bisa ditawar-tawar. Kalau syariat mengatakan haram, jangan pernah menabraknya. Jika tetap bersikeras melakukannya, jangan pernah kaget jika hantaman prahara datang silih berganti tanpa ampun dan kompromi. Salah satu syariat Tuhan yang dewasa ini sering ditabrak ummat manusia adalah larangan melakukan praktik riba. Berapa banyak ummat Islam yang terjerembab riba hanya gara-gara urusan perut dan kesenangan duniawi? Bahkan tidak sedikit orang yang katanya ustadz, kyai, samar-samar alias permisif  dengan praktik riba? Sebenarnya apa itu riba? Singkatnya, riba adalah mengembalikan sesuatu melebihi bentuk aslinya atau sesuatu yang karena dipakai, dipinjam atau digunakan oleh orang lain wujudnya menjadi bertambah dan bertambah. Selebihnya silahkan pelajari sendiri.

Kegalauan Pelaku RibaDalam ajaran agama riba sangat dilarang, pelakunya diberi ancaman serius berupa dosa seperti berzina dengan orangtua kandung sendiri. Lebih ekstrem lagi, Nabi mengancam pelaku riba dengan dosa setara dengan tiga puluh enam (36) orang wanita pezina. Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyah dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad). Silahkan dicek di ensiklopedia hadist sahih. Saat ini, praktik riba sudah demikian menjamur, ada dimana mana. Bentuknya beragam, mulai dari yang berbentuk lembaga perbankan, finansial, simpan pinjam, pegadaian, dengan segala macam turunannya seperti layanan kartu kredit, kredit usaha rakyat, kredit perumahan, kredit pensiunan, kredit pembelian, dan sebagainya. Semuanya berbasis suku bunga yang sekali lagi itu riba. Lantas sipakah pelaku riba? Pelaku riba adalah mereka yang meminjamkan, menyalurkan, menerima, mencatat, menyaksikan, dan mengawasi praktik riba. Kalau di perbankan, ya teller, customer service, marketing, pimpinan, direktur, dan kreditur/pemakai kredit itu sendiri. 

Janji Tuhan memang tidak pernah luput, bahwa barangsiapa yang berpaling dari peringantan Tuhan maka baginya kehidupan yang sempit. Saya pernah menerima curahan hati seorang pelaku riba, tanpa harus menyebut nama, saya pastikan ia adalah pegawai suatu lembaga perbankan, sebut saja namanya Raden. Di suatu malam yang bolong, ia menceritakan panjang lebar bahwa bathinnya galau, tidak tenang, dan ingin resign dari pekerjaannya. Saya tanya dia, mengapa begitu gelisahnya? Raden menjawab ia tidak enjoy dengan profesinya, hatinya berontak karena ia ditekan untuk menghamba pada  kaum kapitalis. Tragisnya, ia merasa uang buah dari pekerjaannya cepat habis, hilang entah kemana. Ia gusar ingin segera pindah kerjaan, tapi dilema ijazahnya ditahan pihak bank yang mempekerjakannya. Lengkap sudah, ia bingung harus bagaimana?  

Saya ketika itu mencoba menenangkan Raden, mengajaknya berpikir santai penuh hikmah. Saya sampaikan bahwa apa yang dialami Raden adalah suatu tanda dan isyarat bahwa memang pekerjaan Raden tidak dalam koridor Tuhan. Uang hasil jerih payah cepat habis dan bahkan hilang entah kemana pertanda bahwa hal tersebut tidak barokah. Mengapa demikian? Karena jalan atau cara mendapatkannya salah, diperoleh dari praktik-praktik ribawi perbankan. Terus bagaimana solusinya? Jikapun harus menunggu kontrak kerjanya habis untuk mendapatkan kembali ijazah yang ditahan, saya sarankan Raden untuk mengambil pelajaran berharga dari apa yang dialaminya, segera bertaubat, menyesali segala yang telah lewat, dan segera hijrah dari sesuatu yang jelas tidak dipebolehkan agama menuju sesuatu yang dibolehkan agama. 

Berbeda dengan Raden, saya juga pernah mendapati seorang mantan pelaku riba yang menceritakan perasaan tidak nyaman saat berprofesi sebagai eksekutor riba. Ia mengaku keluar dari pekerjaan sebagai  pegawai suatu bank pemerintah karena konflik bathin yang terus-menerus menghantui dirinya. Jiwanya protes, hatinya gundah, motivasi diri masuk ke bank karena malu teman-temannya sudah mendapatkan pekerjaan mapan sementara ia belum. Akibatnya, setelah nyemplung ke bank, rasa sesal tiada tara menghinggapi dirinya. Saat menjalankan tupoksi, ia tidak merasakan sosok jati diri yang sesungguhnya, penuh kepura-puraan sebagai penyalur kredit demi mendapat uang dan prestise. Untungnya, ia segera insyaf dan memutuskan berhenti dari pekerjaannya. 

Dua cerita di atas adalah narasi praktik riba dari perspektif penyalur aktif riba. Bagaimana dengan pengguna riba? Sungguh, riba memang akan membutakan para pelakunya. Saya pernah mendapati seseorang yang berterus terang bahwa dirinya adalah penikmat riba, ia harus bersekutu dengan perbankan dengan mengambil kredit karena ingin memiliki rumah. Ironisnya, ia mengatakan bahwa ia tidak kuasa menolak jeratan riba karena sistem sudah mensetting demikian, mau gimana lagi? kalau tidak begini, tidak punya rumah, begitu ia berkilah. Demikianlah, kesenangan duniawi adalah faktor utama manusia menjadi pelaku riba.

Sangatlah celaka dan merugi melakukan riba, senangnya sementara, sementara akibatnya sangat merusak. Silahkan bayangkan sendiri bagaimana dahsyatnya dosa berzina dengan orangtua sendiri? Bayangkan juga bagaimana jadinya dosa berzina dengan 36 wanita? Terkadang dampaknya memang tidak langsung Tuhan tunjukkan. Bagi yang masih disayangiNya, keanehan hidup berupa musibah atau hal-hal yang tidak diinginkan terjadi begitu saja sebagai teguran Tuhan agar segera kembali ke jalan yang benar. Sebaliknya, ada pula orang yang dibiarkan Tuhan, untuk sementara adzab dan sengsara tidak menyentuhnya sebagai bentuk istidraj Tuhan. Namun cepat atau lambat, siksaan pedih pasti menghampirinya. Silahkan amati sendiri orang-orang di sekitar anda yang ditimpa adzab Tuhan akibat dosa riba yang ia lakukan.   
          

0 Response to "Jeritan Hati Pelaku Riba"

Post a Comment