Menyikapi Teror Politik Pilgub DKI | Paradigma Bintang

Menyikapi Teror Politik Pilgub DKI

Maraknya spanduk-spanduk provokatif menjelang digelarnya Pilgub DKI Jakarta 2017 putaran kedua yang berisi larangan menshalatkan jenazah bagi warga yang memilih gubernur beragama non muslim menegaskan betapa tidak dewasanya oknum-oknum yang berkepentingan dalam kontestasi akhir Pilgub DKI. Siapa mereka? Bisa dipastikan mereka adalah para pembenci Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon gubernur petahana yang kebetulan beragama Nasrani. Tidak hanya itu, muncul intimidasi yang lebih tragis, seorang laki-laki yang mertuanya meninggal dipaksa membuat surat pernyataan harus memilih calon gubernur muslim di atas materai Rp. 6.000,- jika ingin jenazah yang bersangkutan dishalatkan. Ironisnya, dalam perjanjian hitam di atas putih tersebut, pihak RT/RW yang seharusnya netral ikut andil menandatangani.

Teror Politik Pilgub DKI
Preseden ini mengundang reaksi Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin yang menyatakan bahwa menshalatkan jenazah hukumnya fardhu kifayah alias menjadi kewajiban muslim yang apabila tidak ada satupun yang melakukan maka seluruh warga yang ada di suatu kampung/kelurahan memikul dosa. Menag juga mengimbau bahwa agama tidak dikaitkan dengan politik Pilkada. Suatu sikap kenegaraan yang menyejukkan bahwa memang hidup berbangsa dan bernegara itu sejatinya harus merangkul siapapun tanpa memandang perbedaan apapun, apalagi hanya perbedaan pilihan politik. Sangat naif rasanya jika keragaman selera politik menjadi pemicu keretakan keurukunan sesama bangsa. 


Suka tidak suka, inilah potret politik mutakhir sebagian warga di DKI. Memandang pihak yang berbeda haluan politik sebagai musuh yang harus diteror. Benar-benar kelewat batas dan mengkhawatirkan. Sendi kehidupan berbangsa kita dalam ancaman serius, kebhinekaan Indonesia sebagai bangsa majemuk yang mau menghargai satu sama lain kini diuji betul. Akankah terus begini atau kembali ke jati diri bangsa yang ramah dan toleran? Bagi yang merasa memiliki bangsa ini, bersikap moderat, menerima pilihan politik yang berbeda adalah suatu keniscayaan demi tegaknya cita-cita luhur para pendiri bangsa yang menginginkan terciptanya persatuan Indonesia diantara anak-anak bangsa. Bukankah kita sudah sepakat bahwa semboyan kita adalah ‘bersatu dalam perbedaan’ sebagaimana tercantum dalam lambang burung Garuda kebanggan kita bersama?

Realitas politik yang menjadikan agama sebagai komoditas sebagaimana mengemuka dalam dinamika Pilgub DKI tak pelak mengundang prihatin para pihak berjiwa moderat dan nasionalis yang berpandangan bahwa Pilkada ajang untuk mencari pemimpin pemerintahan bukan pemimpin agama. Bagi mereka, hanya sosok yang kapabel dan terbukti yang patut memimpin DKI. 

Sebagai solusi pencerah, mari kembali kepada ajaran sekaligus warisan para pendahulu bangsa, hidup berbangsa dan bernegara dengan damai, penuh cinta dan kasih. Jadikan setiap perbedaan sebagai perekat bangsa yang saling menyatukan. Jangan demi kepentingan politik persatuan-kesatuan bangsa terpecah, sadarilah bahwa hidup di bumi Pancasila memungkinkan setiap jiwa yang ada di atasnya memiliki hak politik yang sama. Berhak dipilih ataupun memilih, jangan dustakan konstitusi kita. Jika memang tidak berkenan dengan satu pasangan calon, cukuplah tidak dipilih, jangan justru membuat onar dan teror politik yang tidak mendidik. Semakin hari warga DKI semakin cerdas dalam menjatuhkan pilihan politik. Cerdaskan mereka dengan hal-hal membangun bukan malah memprovokasi mereka dengan hal-hal yang menakutkan dan menyeramkan.


Penulis meyakini pada ujungnya warga DKI akan memutuskan suara politik mereka, 19 April 2017 akan menjadi momentum pembuktian perihal siapa yang akan mereka pilih. Baik kubu Ahok maupun Anies perlu mempersiapkan mental, siap menang dan siap kalah. Jika menang tetap elegan dan membumi, dan jika kalah harus berlapang dada. Saatnya menyemai politik bijak yang mendewasakan!
 

2 Responses to "Menyikapi Teror Politik Pilgub DKI"