Sejarah Konflik Rusia-Ukraina | Paradigma Bintang

Sejarah Konflik Rusia-Ukraina

Konflik Rusia-Ukraina pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari masa lalu kedua negara. Sejarah mencatat kedua negara dulunya adalah satu entitas negara, memiliki kesamaan identitas dan kedekatan emosional. Mau bagaimana pun, Ukraina pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia (17211917). Bahkan di masa Kekaisaran Rusia, Ukraina pernah dijuluki sebagai Rusia Kecil. Selain itu, Ukraina juga pernah menjadi bagian dari imperium Uni Soviet yang eksis dari tahun 19221991.

Bubarnya Uni Soviet pada 31 Desember tahun 1991yang kemudian menyebabkan berdirinya 15 negara baru eks Uni Soviet menjadi awal mula rumitnya hubungan Rusia-Ukraina. Sejarah mencatat Ukraina mulai  mendeklarasikan kedaulatannya pada 16 Juli 1990. Setahun berselang, Ukraina mulai mengumumkan kemerdekaannya pada 24 Agustus 1991 dan mendapatkan kemerdekaan penuh dari Uni Soviet bersamaan dengan bubarnya Uni Soviet pada Desember 1991.

Sejarah Konflik Rusia-Ukraina
Sumber Gambar: Negro Elkha/Adobe Stock 

Setelah resmi merdeka, Ukraina laulu tergabung ke dalam organisasi persemakmuran negara-negara merdeka eks Uni Soviet (Commonwealth Independent States). Namun, dalam perjalannya, Ukraina rupanya bertekad ingin lepas dari bayang-bayang Rusia, negara besar pewaris kejayaan Uni Soviet dan selalu berupaya melebur dengan negara-negara Barat dengan menjadi bagian dari institusi mereka. Misal, Ukraina sangat berhasrat ingin menjadi anggota Uni Eropa hingga North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang dibuktikan dengan suksesnya amendemen konstitusi Ukraina tahun 2019 yang memungkinkan Ukraina menjadi anggota Uni Eropa dan NATO.

Sikap dan gelagat anti-Rusia yang ditunjukkan Ukraina ini tak pelak membuat Rusia gusar. Negeri tirai besi tersebut merasa tidak nyaman dengan sikap Ukraina yang berbalik 180 derajat meninggalkan Moskow. Hal ini terutama ketika Ukraina mulai tergoda dengan bujukan Amerika Serikat agar menjadi anggota aliansi pertahanan NATO.

Secara lini masa, rayuan terhadap Ukraina menjadi anggota NATO mulai ada semenjak tahun 1997. Pada saat itu, berdiri NATO-Ukraina Commission (NUC) yang memberi jalan bagi terwujudnya kerja sama NATO-Ukraina. Bahkan, dalam KTT NATO di Bukares, Rumania tahun 2008 negara-negara anggota NATO mempertimbangkan dan mendeklarasikan secara berani bahwa Ukraina dan Georgia akan menjadi anggota NATO. Presiden Amerika Serikat George W. Bush pada saat itu mendukung rencana tersebut. Lebih lanjut, pada tahun 2009, NUC mulai mengawasi proses integrasi Euro-Atlantik Ukraina, termasuk reformasi di bawah Program Nasional Tahunan.

Seiring waktu, kerja sama NATO-Ukraina dari waktu ke waktu semakin dalam dan saling menguntungkan, dengan Ukraina secara aktif berkontribusi pada operasi dan misi yang dipimpin NATO. Prioritas kerja sama pun diberikan untuk mendukung reformasi komprehensif di sektor keamanan dan pertahanan yang sangat penting bagi perkembangan demokrasi Ukraina dan untuk memperkuat kemampuan Ukraina dalam mempertahankan diri. Dan sejak KTT NATO di Warsawa pada Juli 2016, dukungan praktis NATO untuk Ukraina dituangkan dalam Paket Bantuan Komprehensif untuk Ukraina.

Pada Juni 2017, parlemen Ukraina mengadopsi undang-undang yang mendukung keanggotaan di NATO sebagai tujuan kebijakan luar negeri dan keamanan yang strategis. Lebih lanjut, pada bulan September 2020, Presiden Volodymyr Zelensky menyetujui Strategi Keamanan Nasional baru Ukraina yang menyediakan pengembangan kemitraan khusus dengan NATO dengan tujuan memuluskan rencana keanggotaan Ukraina di NATO.

Relasi Ukraina dengan NATO dan segala aktivitasnya ini tentu membuat  Rusia merasa tidak aman serta juga tidak nyaman. Hal ini cukup beralasan karena secara geografis, Ukraina adalah negara terdekat Rusia, bisa dibilang halaman belakang Rusia. Jika Ukraina pada akhirnya menjadi anggota NATO, itu artinya memungkinkan NATO mendirikan pangkalan militer di Ukraina lengkap dengan penempatan personel militer dan segala instrumen persenjataannya.

Hal inilah yang membuat Rusia terancam jika rencana Ukraina menjadi anggota NATO tersebut benar-benar terwujud. Selain faktor NATO, ketegangan Rusia-Ukraina bermula ketika pada November 2013 Presiden Viktor Yanukovich yang pro-Rusia memutuskan untuk membatalkan kesepakatan ekonomi dengan Uni Eropa dan memilih menerima tawaran bantuan Rusia sebesar 15 miliar US dollar.

Sikap politik Yanukovich ini kemudian memicu terjadinya demonstrasi massa antipemerintah Ukraina yang berlangsung selama berbulan-bulan hingga puncaknya pada 22 Februari 2014 parlemen Ukraina memakzulkan Yanukovich dari jabatan Presiden Ukraina. Roda pemerintahan Ukraina kemudian dipimpin Plt. Presiden Oleksandr Turchynov dan Perdana Menteri Arseniy Yatsenyuk yang pro-Barat.

Tak lama setelah pemakzulan Yanukovich, Presiden Rusia Vladimir Putin kemudian memerintahkan pasukan Rusia untuk mulai mengambil alih Crimea dari Ukraina pada 27 Februari 2014. Para pasukan Rusia lalu menduduki gedung parlemen Simveropol, mengibarkan bendera Rusia di atas gedung tersebut, dan menduduki pelabuhan penting Sevastopol. Langkah aneksasi Crimea ini cukup beralasan bagi Putin mengingat 60 persen penduduk Ukraina beretnis Rusia dan 95 persen dari mereka ingin keluar dari Ukraina dan memlih bergabung dengan Rusia berdasarkan referendum yang digelar pada 16 Maret 2014.

Lima hari berselang (21 Maret 2014), Presiden Vladimir Putin dengan persetujuan parlemen Rusia secara resmi mengakui aneksasi Crimea dari Ukraina dan pada hari yang sama PM Yatsenyuk menandatangani sebagain perjanjian dengan Uni Eropa yang sebelumnya dibatalkan oleh Presiden Yanukovich. Beragam respon muncul akibat sikap politik Rusia tersebut, pemerintah negara-negara Barat tidak mengakui aneksasi Crimea oleh Rusia.

Uni Eropa dan Amerika Serikat bereaksi dengan menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Ketegangan Rusia-Ukraina terus berlangsung setelah Crimea berhasil dianeksasi Rusia. Beberapa wilayah di Ukraina Timur seperti Luhansk, Donetsk, atau dikenal dengan sebutan Donbas yang tidak mendukung pemerintahan baru Ukraina hasil kudeta ingin memisahkan diri dari Ukraina dan berpihak pada Rusia.

Akibatnya, perang saudara, aksi-aksi represif dan militeristik yang melibatkan militer Ukraina dan kelompok separatis Ukraina lumrah terjadi. Dalam kondisi tersebut, Rusia cenderung berpihak kepada mereka yang dibuktikan dengan pemberian bantuan nasihat, persenjataan, dan dukungan diplomatik oleh Rusia. Hal ini tak pelak semakin membuat rumit hubungan Rusia-Ukraina.

Setelah Presiden Yanukovich yang pro-Rusia dimakzulkan, praktis pemerintahan Ukraina dipimpin oleh sosok yang pro-Barat. Terpilihnya Petro Poroshenko pada Mei 2014 dan Presiden Volodymir Zelensky pada April 2019 sebagai Presiden Ukraina menjadi penguat bahwa Ukraina berada dalam pengaruh rezim Barat. Dampaknya, kebijakan-kebijakan Ukraina cenderung mesra dengan Barat dan meninggalkan Rusia.

Ukraina terus memperjuangkan keinginannya menjadi anggota Uni Eropa dan NATO. Buktinya, September 2014 Poroshenko resmi mengajukan proposal reformasi ekonomi politik Ukraina sebagai syarat keanggotaan Ukraina di Uni Eropa yang kemudian disetujui parlemen Ukraina. Di lain pihak, gelagat NATO dan negara sponsornya seperti Amerika Serikat yang terus mendekati Ukraina secara militer tak pelak membuat Rusia semakin resah. Dari waktu ke waktu, NATO dan Ukraina terus membuat provokasi dengan membuat latihan militer, memberikan bantuan persenjataan, dan hal-hal lain yang dianggap membahayakan pertahanan wilayah Rusia.

Fakta menunjukkan bahwa semenjak tahun 2014 Amerika Serikat telah mengucurkan dana bantuan militer kepada Ukraina lebih dari 2.7 miliar USD termasuk bantuan 650 juta USD pada tahun 2021. Puncaknya, Rusia tidak bisa tinggal diam dengan sikap Ukraina dan NATO yang sudah diperingatkan agar jangan melakukan langkah provokatif dengan melancarkan operasi militer khusus kepada bekas negara Soviet tersebut pada 24 Februari 2022. Pecahnya invasi Rusia terhadap Ukraina ini sejatinya merupakan lanjutan dari konflik Rusia-Ukraina tahun 2014. 

Penulis akan mencoba mengulik lebih lanjut sejarah konflik Rusia-Ukraina dari perspektif Rusia dan Ukraina secara proporsional. Dilihat dari perspektif Rusia, apa yang menimpa Ukraina adalah ekses dari rasa kekecewaan Rusia terhadap Ukraina dan negara-negara Barat yang mereka anggap sudah kelewat batas, tidak memiliki kepekaan politik, cenderung arogan dan semaunya sendiri.

Dunia seolah hanya boleh didominasi Barat, selain itu tidak boleh. Analoginya, di mana nurani politik Amerika Serikat dan negara-negara NATO jika mereka dengan seenaknya akan meletakkan personil militer dan senjata nuklir di wilayah Ukraina yang tidak lain merupakan teras belakang Rusia ketika kelak Ukraina benar-benar menjadi anggota NATO?  Bukankah pada tahun 1962, saat Uni Soviet meletakkan senjata nuklirnya di Kuba, Amerika Serikat meradang sehingga sempat memicu terjadinya Krisis Misil Kuba antara Uni Soviet-Amerika Serikat.

Hal inilah yang diresahkan Presiden Rusia Vladimir Putin yang memiliki misi ingin mengembalikan kejayaan Rusia Kuno sebagaimana ditulisnya dalam artikel berjudul on The Historical Unity of Russian and Ukrainians. Merujuk pada artikel tersebut, Rusia Kuno diyakini Putin secara historis terdiri dari tiga negara, yaitu Rusia, Belarus, dan Ukraina. Dari ketiga negara, hanya Ukraina yang tidak menyatakan sikap berpihak pada Rusia. Dalam benak Putin, ambisi perluasan keanggotan NATO ke Eropa Timur dan rencana keanggotaan Ukraina dalam NATO tentu akan merusak rencana besarnya tersebut. Maka dari itu, tidak mengejutkan jika Putin begitu keras dengan rencana Ukraina yang ingin bergabung dengan NATO.

Menurut sebuah sumber, jauh-jauh hari sebelum Rusia melancarkan operasi militer khusus pada 24 Februari 2022, Rusia pernah meminta NATO untuk menghentikan segala aktivitas militer mereka di Eropa Timur dan Asia Tengah. NATO juga diminta berkomitmen secara tertulis agar tidak mempeluas keanggotaannya ke Eropa Timur. Bahkan, NATO didesak mundur dari dari Eropa Timur dan negara bekas Uni Soviet. Permintaan Rusia tersebut jelas ditolak NATO dan negara-negara Barat yang tergabung di dalamnya. Inisiatif baik Rusia yang tidak berbalas ini lalu disikapi Rusia dengan mengerahkan ratusan pasukannya di Utara, Selatan, dan Timur Ukraina.

Puncaknya, seiring dengan adanya deklarasi kemerdekaan dari Donetsk dan Luhansk yang memutuskan merdeka dari Ukraina pada 21 Februari 2022, Rusia lalu mengakui kedua wilayah tersebut sebagai republik merdeka. Pengakuan Rusia terhadap Luhansk dan Donetsk yang memerdekakan diri dari Ukraina ini ditindaklanjuti Rusia dengan mengirimkan para pasukan militernya yang ditugaskan sebagai pasukan penjaga perdamaian (peace keeper) untuk mendukung masyarakat dan militer di Luhansk dan Donetsk yang kedaulatannya telah diakui Rusia.

Dalam sudut pandang Rusia, membela kelompok separatis pro-Rusia (Luhansk dan Donetsk) yang diserang oleh militer Ukraina adalah sesuatu yang dibolehkan berdasarkan Piagam PBB Pasal 51. Pasal tersebut memberi hak kepada suatu negara untuk membela dirinya baik secara individual maupun kolektif melalui pakta pertahanan. Jadi, inilah landasan hukum yang dijadikan Rusia sebagai justifikasi melakukan invasi ke Ukraina selain adanya faktor geopolitik sebagaimana penulis ulas di atas.

Dari sudut pandang Ukraina, konflik terbuka dengan Rusia tentu sangat menyakitkan. Mau bagaimana pun Ukraina adalah negara berdaulat yang bebas menentukan segala nasib dan kebijakan dalam-luar negeri tanpa terpengaruh oleh adanya intervensi dari siapa pun. Piagam PBB jelas menjamin hal tersebut. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB yang menyatakan bahwa untuk mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri rakyat, dan untuk mengambil langkah-langkah lain yang tepat untuk memperkuat perdamaian universal.

Jadi, mau berpihak kepada negara-negara Barat, menjadi anggota Uni Eropa, NATO, dan menjauh dari pengaruh Rusia pada dasarnya adalah hak asasi Ukraina sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh. Secara norma dan hukum internasional, tidak ada yang salah dengan rencana dan niat Ukraina yang ingin mendekat dengan Barat dan mengadopsi nilai-nilainya. Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. 

Invasi skala penuh yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina sudah terjadi, tidak mungkin diminta batal agar tidak terjadi. Kini, hal tersebut hanya menjadi sejarah yang patut diambil hikmahnya, bahwa tak selamanya entitas negara yang secara hukum dalam posisi benar dapat terjamin dari kehancuran dan kerusakan akibat serangan negara lain. Ada hal lain juga yang mesti dipertimbangkan dan menjadi perhatian, yaitu aspek perasaan dan ketidaknyamanan negara lain yang hidup berdekatan, apakah merasa nyaman atau tidak, apakah merasa terancam atau tidak. Seyogyanya setiap entitas negara juga mengedepankan aspek perasaan negara lain. Inilah narasi historis tentang konflik Rusia-Ukraina.

0 Response to "Sejarah Konflik Rusia-Ukraina"

Post a Comment