Perang terbuka antara Israel dan Iran yang berlangsung saat
ini (Juni 2025) bukanlah konflik regional biasa. Ini adalah titik kritis baru
dalam geopolitik global yang menyimpan potensi untuk menyeret kekuatan-kekuatan
besar dunia ke dalamnya. Rusia, yang selama ini dikenal sebagai mitra strategis
Iran, telah mengutuk keras serangan Israel dan memperingatkan akan adanya
konsekuensi serius jika eskalasi berlanjut. Sementara itu, Tiongkok menyerukan
penghentian permusuhan dan menegaskan pentingnya solusi diplomatik untuk
mencegah dampak lebih luas terhadap stabilitas global dan perdagangan
internasional.
Amerika Serikat, meski mengaku tidak terlibat langsung dalam
serangan Israel, tetap mendapat sorotan tajam karena dianggap memberikan restu
diam-diam kepada Tel Aviv. Bahkan beberapa analis menyebut langkah Israel
sebagai bagian dari kebijakan luar negeri de facto AS di kawasan, mengingat
hubungan militer, intelijen, dan ekonomi kedua negara yang sangat erat. Dunia
menyaksikan bagaimana para pemimpin dunia kini terbelah: antara mereka yang
mendukung tindakan Israel atas nama keamanan regional, dan mereka yang mengutuk
agresi tersebut sebagai bentuk imperialisme modern.
![]() |
Sumber: Reuters |
Kebangkitan Blok Perlawanan dan Ancaman Destabilisasi
Regional
Konflik ini juga membuka jalan bagi kebangkitan blok
perlawanan (Axis of Resistance) yang terdiri dari Iran, Hizbullah di
Lebanon, kelompok Houthi di Yaman, dan milisi-milisi pro-Iran lainnya di Irak
dan Suriah. Kelompok-kelompok ini menyatakan solidaritas penuh terhadap Iran
dan menyebut serangan Israel sebagai deklarasi perang terhadap seluruh umat
Islam. Hizbullah bahkan telah meluncurkan sejumlah roket ke wilayah utara
Israel, menambah dimensi konflik lintas batas negara yang kian sulit
dikendalikan.
Jika pertempuran melebar dan melibatkan negara-negara Teluk
seperti Arab Saudi atau Uni Emirat Arab—yang selama ini berusaha menormalisasi
hubungan dengan Israel—maka potensi keruntuhan tatanan politik kawasan menjadi
nyata. Banyak pihak meyakini bahwa satu serangan besar terhadap ladang minyak
Iran atau blokade Selat Hormuz dapat memicu reaksi berantai berupa krisis
energi global, runtuhnya pasar modal, dan gelombang pengungsi baru yang akan
menambah beban kemanusiaan dunia.
Masa Depan Timur Tengah: Jalan Menuju Perdamaian atau Jurang
Kehancuran?
Melihat perkembangan yang terjadi, masa depan Timur Tengah
sangat bergantung pada dua hal: kemauan komunitas internasional untuk
menghentikan konflik dan kesiapan aktor-aktor regional untuk menahan ego
geopolitik mereka. Sayangnya, kedua hal ini terasa sangat utopis. Dunia kini
menyaksikan bagaimana sistem internasional yang seharusnya menjadi penjaga
perdamaian justru lebih sering berperan sebagai fasilitator ketimpangan dan
kekerasan. PBB, Dewan Keamanan, dan pengadilan internasional kehilangan legitimasi
di mata publik global karena tidak mampu (atau tidak mau) menegakkan hukum
secara adil dan konsisten.
Apa yang sedang terjadi antara Israel dan Iran bukan sekadar
perang dua negara, tapi simbol dari kegagalan sistem internasional untuk
mencegah konflik berskala besar. Timur Tengah, yang sejak lama menjadi medan
pertempuran kepentingan besar dunia, kini berada di persimpangan: antara
memperjuangkan perdamaian melalui dialog dan diplomasi yang jujur, atau
terjerumus lebih dalam ke dalam siklus kebencian, pembalasan, dan kehancuran.
Jika langkah konkret tidak segera diambil, maka bukan hanya Timur Tengah yang akan tenggelam dalam api konflik, tetapi dunia pun akan ikut terbakar. Dan pada saat itu, mungkin akan terlambat untuk menyesal.
0 Response to "Titik Kritis Perang Israel-Iran: Ancaman Perang Dunia dan Polarisasi Global"
Post a Comment