Sudah enam bulan lebih─terhitung dari semenjak resmi
dilantik sebagai Presiden terpilih pada 20 Oktober 2024─Prabowo Subianto memimpin Indonesia. Dalam rentang waktu satu
semester ini, ada banyak sekali sektor atau lini strategis yang dapat dinilai
dari pemerintahan Presiden Prabowo. Sehubungan dengan adanya momentum hari
pendidikan nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei setiap tahunnya, maka
tulisan ini hanya akan fokus menuliskan catatan tentang potret pendidikan
Indonesia dewasa ini.
Saya secara terbuka ingin memotret secara objektif lanskap
pendidikan Indonesia masa kini. Di bawah kepemimpinan Prabowo, sektor
pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi nasional yang sebelumnya berada
dalam satu nomenklatur kementerian (Kemendikbudristek) dipecah menjadi tiga
kementerian (Kementerian Dasar dan Menengah, Kementerian Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi) sehingga birokrasi yang
mengurusi pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi relatif menjadi gemuk.
![]() |
Sumber: Kemendikdasmen |
Seperti biasa, setiap kali terjadi pergantian rezim
pemerintahan, ada pos kementerian yang juga diganti pucuk pimpinanannya. Dan
setiap ganti menteri, maka ganti pula kebijakannya. Hal ini sangat terlihat di
sektor pendidikan, hal baik yang sebelumnya sudah berjalan dan terbukti efektif
memajukan pendidikan Indonesia, rupanya di bawah kendali menteri baru hal
tersebut menjadi mandek bahkan ditinggalkan.
Terlepas dari adanya kekurangan dan ketidaksempurnaan, mantan
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim yang menjabat dari periode 2019−2024 pada prinsipnya banyak meninggalkan gebrakan dan warisan
positif bagi dunia pendidikan Indonesia. Sayangnya, di tangan menteri baru hal
baik yang sudah berjalan malah tidak dilanjutkan bahkan muncul wacana akan
diganti.
Kita dapat menyaksikan bagaimana gerak langkah pendidikan
nasional di bawah menteri baru Prabowo?
Di sektor pendidikan tinggi, bukannya menunjukkan prestasi kerja yang
membanggakan, menterinya malah sering membuat blunder dan kontroversi yang
menimbulkan riak-riak konflik di internal Kementerian sehingga yang
bersangkutan dilawan oleh bawahannya sendiri hingga pada akhirnya menteri
terkait mendapat sorotan publik, dipanggil Komisi X DPR-RI, dan puncaknya Presiden
Prabowo kemudian harus menggantinya dengan sosok menteri baru.
Belakangan terungkap, ia memutuskan mundur lantaran merasa
tidak memenuhi harapan presiden. Praktis, jabatan mendiktisaintek di awal
kepresidenan Prabowo hanya berumur empat bulan saja. Lalu bagaimana dengan
pendidikan dasar dan menengah? Secara objektif, menteri yang menangani bidang
pendidikan dasar dan menengah harus diakui tidak seperti Mendiktisaintek yang
penuh kontroversi dan pergolakan. Namun demikian, secara kebijakan, Mendikdasmen kepercayaan
Prabowo tergolong normatif, tidak revolusioner, dan cenderung ingin menghapus
warisan-warisan baik dari menteri sebelumnya.
Dari dua menteri bidang pendidikan di kabinet Prabowo, tidak
ada satu pun yang secara gamblang berbicara tentang program Merdeka Belajar
Kampus Merdeka (MBKM) warisan Nadiem Makarim yang terbukti ampuh
mentransformasikan pendidikan nasional menjadi lebih bergairah dan berkemajuan.
Yang terjadi malah Mendikdasmen memutuskan kebijakan yang sebelumnya dihapuskan
oleh Nadiem untuk dihidupkan kembali. Misalnya, Ujian Nasional (UN) yang telah
dihapus Nadiem akan dihidupkan kembali dengan kemasan Tes Kompetensi Akademik
(TKA), Kurikulum Merdeka yang baru berjalan beberapa tahun dan relatif sukses
memberikan pendekatan baru berbasis projek (project based bagi sistem
pembelajaran dan pendidikan nasional kabarnya sedang ditinjau untuk kemudian
terbuka kemungkinan diganti dengan kurikulum baru.
Lebih lanjut, program-program serial dari Merdeka Belajar
hingga saat ini tidak jelas kelanjutannya. Apa kabar program-program keren
seperti Guru Penggerak, Sekolah Penggerak? Apakah masih bergerak atau sudah
tidak lagi bergerak? Besar kemungkinan program baik tersebut dihentikan. Lebih
dari itu, hal yang tak kalah miris adalah program penjurusan IPA, IPS, Bahasa yang sebelumnya sudah
dihapus untuk memberikan kemerdekaan kepada pelajar SMA dalam belajar dan
menentukan sendiri bidang bidang pelajaran yang akan ditekuni menurut kabar
akan diaktifkan lagi. Padahal, guru-guru, aktivis, praktisi pendidikan
keberatan dengan reaktivasi program penjurusan bagi pelajar SMA. Mereka menilai
program penjurusan tidak lagi relevan dengan kebutuhan masa kini. Beginilah
realitas pendidikan nasional Indonesia.
Setiap kali ganti menteri, maka ganti pula kebijakannya.
Pembuat kebijakan mungkin akan senang dan bahagia dengan kebijakan barunya.
Namun, bagi pelaksana dan objek dari kebijakan tersebut seperti guru dan murid
rasanya akan berat, mengapa hal yang sudah ideal diutak-atik lagi hanya untuk
terlihat berbeda dan tidak mau sama dengan menteri sebelumnya. Tidaklah
berlebihan adagium yang berbunyi, setiap kali menteri berganti, murid-murid dan
gurulah yang akan menjadi kelinci percobaan alias menjadi objek eksperimen.
Jika seperti ini terus, kapan majunya pendidikan Indonesia? Semoga peringatan
Hari Pendidikan Nasional 2025 menjadi momentum untuk mereflesikan arah
pendidikan Indonesia ke depan!
0 Response to "Merefleksikan Potret Pendidikan Indonesia Masa Kini"
Post a Comment