Kambuhnya Gelagat Nakal Malaysia | Paradigma Bintang

Kambuhnya Gelagat Nakal Malaysia

Untuk kesekian kalinya negeri jiran Malaysia berulah, aksi sepihak Malaysia yang belakangan ini menjadi berita hangat berbagai media nasional adalah pembangunan mercusuar Malaysia di perairan sengketa (abu-abu), di Tanjung Datu, Sambas, Kalimantan Barat. Bagi penulis, ulah sepihak seperti ini bukan hal baru, kebetulan Penulis pernah menulis sebuah buku tentang sisi lain Malaysia yang tidak banyak diketahui publik. Termasuk analisa mengapa begitu sering Malaysia berulah dan acapkali membuat negeri tetangganya meradang? Melalui tulisan ini penulis ingin menuangkan analisa penulis terkait dengan fenomena mutakhir.

Malaysia NakalKejadian Malaysia yang dengan seenaknya melakukan aktivitas pembangunan di suatu wilayah teritori yang berstatus belum jelas bukan kali ini saja terjadi. Semenjak berdiri sebagai Federasi, Malaysia sudah memperlihatkan gelagat yang tidak elok, preseden seperti aksi sepihak Malaysia mendahului pengumuman tim survei PBB berkenaan dengan pilihan rakyat Sabah-Sarawak apakah beragabung dengan Federasi Malaysia atau tidak tahun 1963, yang kemudian membuat Presiden Soekarno mengambil sikap politik konfrontasi. Hingga tindakan licik Malaysia yang menerbitkan peta sepihak tahun 1979, dan aksi diam-diam Malaysia membangun pulau Sipadan-Ligitan yang kemudian menyebabkan jatuhnya vonis kepemilikan dua pulau potensial tersebut pada Malaysia tahun 2002. Klaim tumpang tindih Malaysia terkait blok Ambalat tahun 2005, 2009, dan klaim Malaysia pada perairan tanjung Berakit, Bintan, Kepulauan Riau tahun 2010 sejatinya menjadi fakta historis betapa Malaysia memang selalu membuat resah tetangganya.

Status Abu-Abu
Upaya Malaysia membangun Mercusuar di perairan Tanjung Datu sangatlah berisiko, hal ini karena status wilayah perairan tersebut masih abu-abu; baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama memperebutkannya, belum ada keputusan definitif terkait pihak yang sah mengklaim kepemilikan wilayah perairan sebagaimana disengketakan oleh kedua negara. Namun demikian, secara de facto berdasarkan perjanjian Indonesia-Malaysia tahun 1969, lokasi pembangunan Mercusuar tersebut berada di dalam garis landas kontinen Indonesia. Hal inilah yang membuat Indonesia berani mengambil sikap tegas dengan meminta Malaysia memberhentikan pembangunan mercusuarnya. 

Secara geopolitik, merujuk pada keputusan United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Malaysia dikategorikan sebagai negara pantai (littoral state), sementara Indonesia dikategorikan sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Karena itu, baik Malaysia maupun Indonesia dalam menentukan klaim legalitas teritori harus mengacu kepada ketentuan UNCLOS, mengingat kedua negara telah meratifikasi ketatapan UNCLOS. Menurut klausul yang tertuang dalam UNCLOS, perbedaan esensial sebagai negara kepulauan dan negara pantai adalah dalam penetapan titik dasar untuk penarikan batas teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara kepulauan diperkenankan menarik titik dasar dari ujung pulau terluar hingga 200 mil, sementara Malaysia hanya 12 mil dari daratan. Namun demikian, Malaysia selalu saja menyimpang dari garis mufakat bersama. 

Pendudukan dan pembangunan Malaysia atas suatu wilayah yang masih berstatus abu-abu adalah modus yang kerap dilakukan. Kenyataan ini dalam praktiknya menimbulkan stigma bahwa Malaysia tak ubahnya seperti organisme kehidupan, cendrung ekspansionis. Terlepas dari paparan di atas, status geopolitik Malaysia yang secara de jure ditahbiskan sebagai negara pantai kemudian berimplikasi pada geostrategi Malaysia yang cendrung mengorientasikan pada basis maritim. Sedikitnya, saat ini sedang dibangun sebanyak 15 pangkalan laut baru, dimana pangkalan laut terbesar direncanakan akan dibangun di Teluk Sepanggar, 25 km dari kota Kinabalu (H.S. Kirbiantoro at. al, 47: 2010 ).

Delimitasi
Apa yang ditunjukkan Malaysia dengan membangun mercusuar di wilayah abu-abu yang masih belum ada keputusan yuridisnya secara eksplisit merupakan peringatan keras sekaligus ancaman serius bagi kedaulatan teritori Indonesia. Di tengah bangsa Indonesia sedang larut dalam Pesta Demokrasi 2014, Malaysia mencoba memanfaatkan kelengahan Indonesia dengan merongrong wibawa bangsa dengan aksi tidak kooperatif. Dalam pengamatan penulis, hampir setiap tahun ada saja isu sensitif yang diinisiasi Malaysia, mulai isu pemindahan tapal batas teritori, klaim blok perairan, hingga upaya akuisisi suatu wilayah perairan tertentu. Indonesia tidak boleh lengah, harus senantiasa sigap dan mawas. Penulis sangat bangga dengan sikap tegas Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang cepat mengambil sikap, menghentikan pembangunan tiang pancang mercusuar Malaysia, dan mengusir kapal-kapal perang Malaysia dari perairan abu-abu tersebut. 

Agar status perairan abu-abu dan pembangunan sepihak Malaysia ini bisa cepat selesai, maka selain mengambil tindakan asertif sebagaimana telah dilakukan TNI AL, pemerintah harus segera melakukan perundingan dengan pihak otoritas Malaysia. Wujudnya, pemerintah harus bisa mengajak dan meminta Malaysia melakukan delimitasi batas maritim: yaitu penentuan batas wilayah teritori dan kekuasaan antar kedua negara di laut yang didasarkan dengan norma-norma internasional yang berlaku. Dengan solusi delimitasi, batas yuridis suatu negara dapat diketahui, sehingga tidak ada alasan bagi Malaysia mengklaim wilayah perairan yang secara legal formal dimiliki negara lain.   

Artikel ini ditulis April 2014

1 Response to "Kambuhnya Gelagat Nakal Malaysia "